October 27, 2008

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 06 - Allah Tidak Pernah Meninggalkan Kita

Andai kita menebus segala kesalahan kita dengan dunia yang kita punya, lalu kita mendapati Allah di sisi kita, tentu ini adalah proses pendekatan diri kepada Allah yang murah adanya.

Seorang bapak datang dalam keadaan bermasalah. Namun berbeda dengan yang lain. Ia datang dengan senyuman. Ia berbagi pengalaman, bahwa ia senang Allah bangkrutkan.
Saya sudah tahu kemana arahnya pembicaraan dia. Tapi saya biarkan.
“Kalau saya tidak dibangkrutkan Allah, saya sudah akan terlalu jauh dari Allah,” begitu katanya. “Sangat jauh malah. Saya banyak bermaksiat dengan rizki dan jalan yang justru sesungguhnya diberikan oleh Allah,” katanya lagi.
Saya kemudian bertanya sedikit kepadanya, “Apa yang didapat setelah jauh dari Allah?”
“Ketidaktenangan. Ketidaktahuan tujuan hidup. Dan yang lebih jelas lagi, dosa”.
“Dosa?”
“Ya, dosa. Makin lama Allah biarkan saya dalam kekayaan, makin banyak rasanya dosa saya. Jangankan urusan yang nyata-nyata sebagai dosa. Urusan meninggalkan shalat sunnah saja kan sebenernya dosa. Ngentengin sunnah. Begitu kan kata Ustadz?”
“Ya. Betul. Ngentengin sunnah juga merupakan dosa. Kalau terlalu lama ninggalin sunnah, ya bermasalah juga jadinya. Apalagi kalau yang ditinggalkan itu adalah sunnah-sunnah muakkad; sunnah tahajjud, sunnah dhuha, sunnah qabliyah ba’diyah”.
“Nah ustadz, saya bahkan mulai menyepelekan shalat wajib. Saya ngebayangin, betapa saya menzalimi Allah yang sangat sayang kepada saya. Hingga saya bersyukur bahwa saya diberi- Nya karunia kejatuhan ini”.
Luar biasa. Sahabat saya ini sudah berhasil menaruh baik sangkanya kepada Allah, dan berhasil memetik hikmahnya.

Di dalam program Ihyaa-us Sunnah (Program Menghidupkan Sunnah), yang juga akan menjadi program menarik semua peserta KuliahOnline untuk menebus dosa (he he he), dan untuk mengangkat derajat, memang nyata-nyata dipelajari bahwa di balik sunnah itu ada kejayaan. Hamba-hamba Allah memang banyak yang sudah menyepelekan sunnah. Pengertian sunnah masih: “Kalau dikerjakan mendapatkan pahala, kalau tidak dikerjakan, tidak mengapa”. Akhirnya, bener-bener tidak mengapa: “Cuma sunnah ini”, begitu kata sebagian dari kita. Padahal, menjaga sunnah adalah sesuatu yang terpenting yang benar- benar berpengaruh kepada kualitas hidup kita.

“Terus, apa yang terjadi?”, tanya saya lebih lanjut kepada beliau.
“Ya, namanya orang bangkrut, hidup saya penuh dengan masalah. Tapi semakin besar masalah saya, semakin saya bersyukur. Dalem sekali rasa syukur saya. Saya anggap, beban masalah saya adalah pengurangan dosa saya. Semakin berat, maka akan semakin besar pengurangannya. Saya ikhlas menjalani ini ustadz. Ridha sekali. Daripada dipendem di kuburan yang mengerikan, ini saya terima. Saya terima perlakuan dan intimidasi orang-orang yang uangnya di saya dan saya tidak bisa mengembalikan. Saya terima cacian dan makian keluarga saya, saya terima sikap tidak pedulinya kawan-kawan yang kadang menyakitkan saya sebab saya begitu memperhatikan mereka. Saya terima semuanya.”
Bukan saya berbangga diri. Dia cerita bahwa buku Mencari Tuhan Yang Hilang, buku perdana saya, yang sudah lumayan membentuk kepribadian dia ini. Alhamdulillah, katanya, buku tersebut banyak berisi persoalan-persoalan tauhid, iman, kepasrahan, tanggung jawab, amal saleh, dan lain-lain sebagai bekal di soal kehidupan.
“Apa doa saudara setelah saudara dekat dengan Allah?”, pancing saya.
“Saya berdoa, agar masalah saya jangan cepat selesai kalau saya belum kuat imannya. Biar saja saya begini dulu. Dunia ramai sekali di luar diri saya, tapi saya merasakan hebatnya bersepi-sepi dengan Allah”.
“Terus, nasihat apa yang saudara harapkan dari saya?”
“Saya hanya pengen ketemu ustadz saja. Ga lebih”.
Dia bicara banyak sekali. Dan saya kira, kedatangannya justru nasihat untuk diri saya. Semakin kaya, semestinya makin hebat shalat wajibnya, makin rajin shalat sunnahnya. Makin jaya, makin bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Makin berterima kasih pada-Nya. Bukan sebaliknya. Terlalu mahal tebusannya bila kita tergolong sebagai golongan orang-orang yang melupakan Allah.
Dia juga mengingatkan tentang diri saya sekian tahun yang lalu. Ketika saya pompa diri ini, bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan saya. Allah tidak akan pernah mengabaikan saya. Allah tidak akan pernah tidak mau menolong. Allah akan selalu menolong. Orang ini mengingatkan saya banget-banget, bahwa ketika Allah ada di kehidupan kita, maka segalanya akan mengalir bahagia. Biarlah Allah yang mengatur hidup kita. Biarlah. Hingga nanti saatnya datang, Allah akan mengulurkan pertolongan-Nya, dan mengangkat derajat kita. Sementara itu, Allah mempersiapkan diri kita untuk menjadi individu yang lebih baik lagi yang lebih hebat lagi. Maka manakalah Allah sudah mengangkat kembali hidup kita, insya Allah dengan izin-Nya, kita akan menjadi manusia-manusia yang banyak manfaatnya.
“Ustadz, sungguh, saya sedang menunggu takdir Allah terhadap diri saya. Saya belajar dari ustadz. Saya mau memahami bahwa eposide kehidupan saya belumlah berakhir di sini. Masih panjang kan Ustadz…?”.
Saya selanjutnya membiarkan ia bicara. Kelihatan sekali sebenernya tatapan matanya hampir kosong. Namun iman di hatinya, dan secercah ilmu, sudah menjadi bara di tengah kehampaannya. Semoga ia kuat. Dan dia pasti kuat, insya Allah. Allah teramat suka sama manusia-manusia yang percaya bahwa diri-Nya pasti mengatur yang terbaik.
***

Apapun keadaan dan kejadiannya, tetaplah baik sangka kepada-Nya.

Ketika bercerita tentang keyakinan kepada Allah, saya adalah termasuk orang-orang yang berusaha belajar meyakini bahwa Kekuasaan Allah itu ada, Pertolongan Allah itu ada, dan keyakinan-keyakinan lain yang positif. Saya males mengikuti bayangan buruk pikiran buruk. Sungguhpun kadang kejadiannya memaksa saya untuk berpikir buruk. Misalnya begini, saya punya urusan, lalu urusan itu kelihatannya tidak selesai. Malah cenderung bertambah besar. Saya mah tetap saja maunya positif. Segera saja saya banting kepada pemikiran, “Ga apa-apa masalah bertambah besar, asal dosa saya semakin besar yang diampuni Allah. Ga apa-apa masalah bertambah besar, asal rizki juga bertambah besar”.
Tapi kemampuan untuk meyakini Allah dan berpikir positif itu memang setelah mengalami sendiri pasang surut kehidupan, dan kemudian menerima pengajaran-pengajaran tentang iman dan kasih sayang Allah dari orang-orang yang positif memandang Allah dan kehidupan ini.
Ada seorang kawan yang tambang emasnya direbut orang. Bayang-bayang jatuh miskin, sudah di mata benar. Tambang emas yang baru saja diperpanjang hak tambangnya, dan sudah ditanam investasi dari hasil hutangan baru, tiba-tiba saja harus direlakan pindah tangan. Istilah-istilah hukum dan ekonomi modern, membuat dia harus melihat dengan telanjang aset dan perusahaannya pindah tangan.
Jadilah dia kemudian nestapa, merana, hidup penuh tekanan, penuh hutang, sendiri, gelap, dan putus asa.
Tapi, ups! Kata siapa?
Loh bukannya tertulis begitu? Jadilah dia kemudian nestapa, merana, hidup penuh tekanan, penuh hutang, sendiri, gelap, dan putus asa.
Ya, tapi kan yang nulis situ.
Lah, bagaimana sih ini?
Ya, situ yang bagaimana? Koq maen nulis sendiri kesimpulannya?
Oh, belum selesai ya?
Belum.
Yang benar, bagaimana?
Mestinya, ia kemudian nestapa, merana, hidup penuh tekanan, penuh hutang, sendiri, gelap, dan putus asa. Harus pakai “mestinya”. Sebab nyatanya dia tidak.
Loh, sampeyan ini siapa?
He he he. Iseng saja. Biar nulisnya ga jenuh. Ini habis pulang dari rumah sakit. Saya rindu mengajar. Saya kudu ngajar besok pagi. Online. Lewat website www.kuliahonline.wisatahati.com. Kalo lagi jenuh, lagi letih, kan “saya” suka muncul.
Jadi, bagaimana dengan dia?
Pengusaha ini tetap tegar. Dia memang kehilangan banyak hal. Tapi dia belum kehilangan semangatnya. Dia belum kehilangan ilmunya. Dia belum kehilangan buyer nya. Dia belum kehilangan keluarganya. Dan yang lebih penting, dia masih punya Allah dan Rasul-Nya. Itu yang membuatnya ga jadi merana dan ga jadi nestapa.
Subhaanallaah!
Tapi berkembang ga tambang emasnya?
Engga.
Lah???!!!
Ya, engga. Sebab nyatanya emang susah.
Dia rontok. Asli rontok. Mana perempuan lagi.
Terus, jadi dong merana dan nestapanya?
Kenapa sih? Kayaknya kudu merana dan nestapa dulu ya untuk kemudian bangun, bangkit, dan jaya kembali?
Ya habis situ yang bilang dia akhirnya rontok. Terus mau kemana lagi dia?
Ke Allah. Dia terus aja maju ke Allah. Dia memilih ga mau percaya bahwa dia bener-bener habis. Dia terus saja berjalan. Sekelilingnya menertawakan dia. Mencemooh dia, sebagai pengusaha yang gagal, sekaligus sebagai ibu dan istri yang gagal. Ga kebayang dah kalo kita yang menjadi dia.
Hutang bank nya?
Makin banyak. Dan tidak sedikit yang sudah pindah tangan. Di sisi yang satu ini saja, dia menuai musuh-musuh baru yang berasal dari keluarga. Beberapa aset yang disita adalah aset keluarganya yang dijadikan pinjaman.
Weh, repot juga ya?
Engga tuh. Dia ga merasa repot.
Wuah, itu mah namanya ga berperasaan.
Situ boleh menyebutnya ga berperasaan. Tapi dia memilih menyebutnya sebagai pasrah.
Ga ada ikhtiarnya?
Nah ini bedanya. Pasrah itu pekerjaan hati. Sedang ikhtiar itu pekerjaan fisik. Dan otak barangkali. Ia pasrah dalam kendali Allah. Tapi tidak pasrah dalam ikhtiar. Ia berdoa siang malam. Ia tetap berusaha mencari petunjuk sama Allah. Hingga kemudian ketika tidak ada satu pun lembaga hukum yang bisa membantunya -- sebab katanya kesalahan administrasi hukum dan ekonomi adalah kebodohannya – saat itulah pertolongan Allah datang. Ada satu peristiwa hukum dan ekonomi juga antara dirinya dengan penguasa daerah dan pusat, yang menyebabkan rentetan juga peristiwa hukum dan ekonomi yang berputar. Dengan kejadian itu, Allah mengembalikan begitu saja asset yang sudah pernah diambil-Nya (kesejatian semua kejadian), lewat tangan orang lain. Bahkan hebatnya nih, asset itu dikembalikan Allah dalam hitungan yang berlipat-lipat baik dalam hal asset, permodalan, maupun hal-hal lainnya. Barangkali ketika di tangan seterunya si pengusaha ini, sang seteru itu merasa sudah pasti asset perusahaan tambang emas itu jadi miliknya. Jadi, ia kembangkan mati-matian. Nyatanya, malah balik lagi ke pemilik asli.
Bagaimana urusannya?
Klir. Rapih. Mereka-mereka yang sempat “mengadili”, menyaksikan kebesaran Allah. Betapa Kuasa-Nya bekerja di kehidupan orang-orang yang kuat mentalnya. Pengusaha yang sempat terjerembab ini sudah berhasil mempertahankan imannya. Ia bahkan terdorong lebih lagi menuju Allah. Akhirnya apa? Akhirnya ia bangkit lagi.
Subhaanallaah ya?
Kamu ini, bukannya mikir. Malah saya yang mikir. Saya yang ngetik. Saya yang bercerita. Bukannya seharusnya Kamu?
Loh, tadi kan Kamu sendiri yang nyelang? Ya ga apa-apa toh? Kan sama saja. Situ kan saya juga. Iya kan?
He he he. Iya juga.
Peserta KuliahOnline, bingung ya? Mudah-mudahan engga. Ini cara saya menulis. Kalau saya letih, saya punya kembaran, yang kembaran saya inilah yang saya biarkan maju. Bahkan ketika saya berceramah!
Ga apa2, asal jangan “saya” dimunculkan pas nyetir saja! He he he. Bisa modar.
Yah, begitu dah. Allah mempersiapkan kenaikan derajat pengusaha ini pada porsi-Nya. Tidak ada training yang lebih hebat daripada training kehidupan di mana Allah bertindak langsung menjadi Grand-Master Trainernya. Subhaanallaah! Maha Suci Allah yang tidak pernah salah dalam mengendalikan, menentukan, dan mengatur sesuatu. Termasuk tentang kehidupan ini.
Saudara-saudaraku semua. Mestinya, besok, Sabtu tanggal 30 Agutus 2008 sore, kita berkumpul di Sekolah Daarul Qur’an Internasional. Semoga Allah menerangkan benderangkan langit, tapi dalam kesejukan. Memberi Saudara semua rizki-Nya sehingga Saudara bisa datang berkumpul, untuk sama-sama belajar, berbagi dan bersaudara. Subhaanallaah, inilah kumpul-kumpul pertama antar-pengguna web www.wisatahati.com, sejak nama website ini ada di kepala saya ketika saya berada di dalam tahanan kepolisian di tahun 1999! Saat itu saya kepengen berpikir untuk duluan memesan nama web ini, sebab entah mengapa nama wisatahati kuat sekali ada di pikiran saya saat di penjara itu.
Insya Allah bagi yang datang, saya akan bercerita tentang latar belakang Wisatahati sedikit ya? Insya Allah. Ok, sampe ketemu. Insya Allah mulai hari-hari selanjutnya, kita masih akan belajar tauhid. Tapi sudah mulai menukik ke urusan ibadah keseharian. Insya Allah. Yah, dua tiga hari dah. Mudah-mudahan yang sabar ya belajarnya. Ajak-ajak juga saudara-saudara dan kawan-kawan yang memiliki kemudahan akses internet untuk sama-sama mendaftarkan dirinya di KuliahOnline. Jangan lupa, sebar luaskan ilmu yang didapat ini.
Loh, katanya udah “Ok, sampe ketemu”? koq masih terus nulis?
Iya, iya. Ini juga udah ada tamu. Di depan rumah. Dari kawan-kawan PPPA (Program Pembibitan Penghafal al Qur’an).
Padahal masih pengen nulis ya?
Iya.
Ya sudah, nulis saja terus. Ga apa-apa, tamu mah suruh nunggu juga, nunggu.
He he he. Jangan. Nanti malah ga hormat sama tamu. Kalo ga hormat sama tamu, kata Rasul, ga beriman.
Tapi kalo tamunya namunya gini hari? Malem-malem?
Tamu nya udah bilang koq.
Oh, kalo ga bilang, ga dilayanin?
Ya dilayanin juga. Asal bener-bener sehat, dan bener-bener lega nafasnya. Sebab kadang ga ada jeda buat nafas saking padatnya jadwal ngajar, tabligh dan syiar.
Tuh kan, panjang lagi?
Lah, situ kan yang mula-mulain.
Iya, iya. Sudah. Silahkan shut-down komputernya, dan temui dulu tetamunya.
Makasih ya.
Saudara-saudaraku, peserta KuliahOnline, sampe ketemu ya di Sekolah Daarul Qur’an Internasional, di Kampung ketapang, Kelurahan Ketapang, Kecamatan Cipondoh. Mudah- mudahan ga pada nyasar.
Iya.
Loh…??? Nyahut lagi…???
He he he. Maka nya, udah buruan shut-down dah yaaaa….

Yusuf Mansur

October 23, 2008

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 05 - Semua Ada Waktu, Semua Ada Akhirnya

Sebagaimana malam yang segera akan berakhir dan berganti dengan pagi. Segala sesuatu juga ada akhirnya. Termasuk segala permasalahan yang kita hadapi. Ia ada ujungnya. Amal saleh kitalah yang mempercepat perjalanan itu.

Ada kisah seorang ibu muda. Sebut saja T. Beliau memproses perceraiannya sejak tahun 2001. Gak selesai-selesai. Alih-alih berharap bisa bercerai cepat supaya bisa memulai hidup baru, eh malah beberapa ujian kehidupan muncul. Ibunya menyuruhnya bersabar. “Semua ada waktunya”, begitu nasihat ibunya.
Setelah sekian tahun, ia diberitahu ibunya agar bersedekah dengan apa yang ia punya. Sedekah yang besar. Bersedekahlah ia.
Dua tahunan terakhir, ia perbaiki hidupnya. Bila sebelumnya ia belum berjilbab, ia lalu berjilbab dan memperbanyak taubat. Ia usahakan sering mendatangi pengajian. Kegiatan-kegiatan sosial ia ikuti. Ia lupakan persoalan perceraiannya. Ia segarkan hidupnya dengan Karunia Allah yang lain. Dan memang, banyak manusia yang gara-gara secuplik drama kehidupannya yang tidak enak, lantas kemudian membuat matanya tertutup dari Karunia Allah yang sesungguhnya masih teramat besar. Kesusahan hidup, ga sebanding dengan Karunia Allah berupa “hidup” itu sendiri.
Dan akhirnya waktu yang ia tunggu, tiba. 2 tahun sejak ia bersedekah sesuatu yang besar, ia mendapatkan keputusan cerai. Sepertinya tiba-tiba, dan berproses dengan sangat mudah. Beda sekali dengan waktu-waktu sebelumnya.
Yang luar biasa, mantan suaminya ini memberinya uang yang sangat besar. Ia mengaku tersentuh dengan ketabahan mantan istrinya, dan ia meminta maaf tidak bisa mengurus anaknya. Sebagai kompensasinya, suaminya ini memberi uang nyaris 1 milyar dari hasil tabungannya pasca bercerai. Bukan harta gono gini. Mantan suaminya hanya minta diikhlaskan segala kesalahannya. Yang membuat ibu T ini agak berdebar dengan cara kerja Allah, mantan suaminya ini bercerita, tabungan yang nyaris 1 milyar tersebut adalah tabungan 2 tahun terakhir. Masya Allah, suaminya ini “bekerja” sebab diatur Allah. Yang mana hasil kerjaannya itu adalah buah sabar dan sedekahnya.
Dalam satu kesempatan, si ibu T ini bercerita, barangkali kalau dulu Allah mengabulkan kehendaknya, maka ia mendapatkan hak cerai, tapi tidak mendapatkan uang 1 milyar. Hari gini, uang 1 juta saja besar sekali, apalagi 1 milyar.
Saya mengatakan, ya, itulah buah dari dukungan ibunya, buah dari kesabarannya dan hasil kemudahan dan berkah dari sedekahnya… Dan benarlah juga keyakinan orang-orang tua dulu, kalau udah waktunya, ya waktunya. Sebagaimana orang-orang tua yang mengajarkan, kalau udah rizkinya, ya rizkinya.
Kadang saya berpikir ya, andai kita tidak melakukan banyak hal, asal kita perbaiki saja hidup kita, cara kita hidup, dan memaknai ulang hidup kita untuk lebih lagi beribadah kepada Allah dan bermanfaat untuk sesama, rasanya hidup kita akan benar dengan sendirinya. Keinginan kita juga akan terjawab dengan sendirinya. Dan masalah akan selesai dengan sendirinya.
Tapi ya setelah dipikir-pikir lagi, engga juga disebut “tidak melakukan apa-apa” bagi mereka yang memperbaiki dirinya. Karena itulah ikhtiarnya. Sama dengan ketika saya menyebut ikhtiar bagi mereka yang bermasalah adalah taubat dan memperbanyak amal saleh. Ada kemudian yang protes, harus tetap ada ikhtiarnya. Saya menyebut, sudahlah, ikhtiarnya ya itu: taubat dan amal saleh (memperbaiki shalat, menambah shalat-shalat sunnah, membaca al Qur’an, sedekah, dll). Sebab nyatanya, tidak gampang loh untuk bisa bertaubat dan beramal saleh. Kalaulah Allah tidak memudahkan jalan, maka jalan menuju pertaubatan dan amal saleh tidak akan mudah jalannya.
Belajar dari kasus perceraian berkahnya Ibu T di atas, apa kira-kira yang bisa dipetik oleh Para Peserta KuliahOnline? Ketika ceramah esai ini saya sampaikan langsung, ada yang bertanya, apakah bisa selesai dalam 2 tahun juga apabila Ibu T ini tidak melakukan sesuatu? Lalu yang bertanya ini menjawab sendiri, kayaknya engga ya? Barangkali sedekahnya itu yang mempercepat. Yang lainnya menjawab, keikhlasannya yang mempercepat. Sebab sebelumnya ia tidak ikhlas menerima perceraian itu. Dan yang lainnya itu menjawab, doa ibunya yang juga turut membantu percepatan perceraiannya dan kemudian juga mendapatkan berkah uang 1 milyar.
“Perjalanan waktu” bisa dipercepat atau menjadi lambat, salah satunya adalah karena keyakinan kita sendiri kepada Allah, dan amal keseharian kita. Hakikatnya, kalau kita selalu merasa ditemani Allah, maka sesungguhnya tidak akan pernah ada masalah buat kita. Bukankah yang kita cari di dunia ini adalah kedekatan diri dengan Allah? Kalaulah kita harus mendekatkan diri kita melalui pintu masalah, rasanya itulah berkah buat kita.
***
Tidak ada yang datang kepada Allah, kecuali Allah pun datang kepadanya.

Ada yang berharap ketika ia datang kepada Allah, maka Allah betul-betul datang kepadanya. Datang dengan segenap pertolongan dan kebaikan Allah. Dan Allah pasti datang. Tapi memang Kehendak-Nya, bukan kehendak kita. Kita hanya bisa memohon, bukan memaksa. Kita hanya bisa meminta, bukan mengatur.
Selain Ibu T di atas, adalah Zaidi. Ia bercerita, ia tidak “nyampe-nyampe”. Ia mendekati Allah dengan harapan dan doa agar Allah mau membayarkan hutangnya. Segala riyadhah ia tempuh. Namun serasa tumpul benar. Maksudnya, hutangnya tetap ga kebayar-bayar. Sama saja seperti dengan tidak datang kepada Allah. Malah datang ujian-ujian baru kepadanya setelah sekian bulan mendisiplinkan riyadhah. Seakan-akan membenarkan pandangan bahwa kalau mendekatkan diri kepada Allah, ujiannya akan banyak.
Zaidi bertanya seperti yang lain bertanya: Koq mengapa tanda-tanda bisa kebayar hutang belum muncul juga? Koq ujian hidup bertambah berat? Koq Allah kayak mengabaikan dia?
Saya menyodorkan beberapa jawaban.
Pertama, Allah sedang berkenan menyegerakan segala akibat buruk, dengan jumlah takaran yang sebenernya sudah dikurangi jauh dari yang semestinya diterima. Biar bagaimana, akibat buruk harus diterima. Inilah keadilan-Nya. Jika tidak mau akibat buruk diterima setara dengan keburukan yang harus diterima, maka bertaubat adalah jawabannya. Taubat yang sempurna. Yang serius. Juga amal salehnya harus hebat. Kalau tidak setara, tetap harus ada yang dibayar.
Yang begini ini, kurang disadari oleh seseorang. Katakanlah ia pernah berzina. Sedang berzina itu “kontrak susahnya” harus 40 tahun. Atau malah katakanlah ia berzina dalam keadaan ia menjadi suami atau istri dari seseorang. Hukumannya bagi yang berzina dan ia dalam keadaan menikah, adalah hukuman mati. Bayangkan jika sebenernya Allah masih kasih ia kehidupan. Andai pun sepanjang hidup ia pakai untuk pertaubatan, dan penderitaannya ia terima sebagai satu kepatutan yang menggugurkan dosanya, adalah wajar juga kayaknya. Dan itulah Allah. Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Ia hukum hamba-Nya dengan memperhatikan segala kebaikan diri orang itu dan diri orang-orang di sekeliling orang itu. Ada yang Allah ringankan sebab ia punya anak yatim. Ada yang diringankan sebab ia pernah membantu seseorang. Ada yang diringankan sebab istrinya mendoakan tanpa henti. Ada yang diringankan sebab orang tuanya senantiasa memanjatkan doa untuknya. Ada yang diringankan sebab anaknya sedang menuntut ilmu. Dan banyak lagi pertimbangan Allah yang tidak kita mengerti kecuali hanya dengan jalan husnudzdzan kepada-Nya. Baik sangka kepada-Nya.
Maka jawaban yang berikutnya dari pertanyaan Zaidi di atas adalah justru seputar dosanya sendiri. Bagaimana dosanya dia sebelum akhirnya kemudian berjalan menuju Allah, menuju pertolongan-Nya? Tanyakan dengan jujur. Bila memang dosanya banyak sekali, ya wajar saja kan? Ibarat tagihan dari amal keburukan, amal-amal kebaikan kayaknya buat bayar dulu keburukan-keburukan yang ia lakukan selama itu.
Bisa juga dikaitkan bahwa Allah Maha Tahu. Nikmatin saja dulu “kedekatan” diri dengan Allah, dan pembiasaan ibadah tersebut. Jangan-jangan, kalau Allah mempercepat ia selesai dari masalah, malah nanti ga bisa istiqamah lagi ibadahnya. Keburu sibuk lagi, dan keburu lupa lagi. Akhirnya, malah bermasalah lagi.
Anggap saja, ibadah dan disiplin ibadahnya ini sebagai latihan keistiqamahan. Apabila nanti hutangnya sudah terbayar, atau ia sudah kembali menjadi pengusaha yang sakses, ia bisa tetap memelihara dhuhanya, bisa memelihara sunnah-sunnah qabliyah ba’diyahnya, bisa memelihara seluruh amalan-amalan wajibnya. Hingga ia bisa menempatkan Allah jauh di atas dunia yang ia cari, yang ia kumpulkan. Ini kan jadi semacam Training-Camp buat dia.
Belum lagi soal bala, soal keburukan, dan soal kematian, andai ini bisa dijadikan jawaban yang ketiga. Maksudnya, harusnya ia keluar dari masalahnya, hidup enak dan bahagia dengan amal-amal salehnya. Namun, ia berumur pendek, dan ada bala yang lebih besar yang bakalan datang. Lalu dua hal ini dihapuskan oleh Allah. Bila menyadari hal ini, tambahin saja lagi load kebaikannya. Jangan ragu menambah vomue ibadah. Makin kenceng ujiannya, makin kenceng ibadahnya. Makin keras angin masalah yang menerpanya, makin sungguh-sungguh ibadahnya. Jangan justru malah surut.
Jawaban yang ke-empat, ada derajat yang lebih tinggi yang Allah siapkan untuk dirinya. Ya, banyak yang lebih naik kehidupannya setelah kesusahan demi kesusahan ia alami. Ada lebih banyak karunia Allah yang bakal diterima setelah kesulitan hidup yang dihadapinya. Saya pribadi menyadari bahwa sungguh, ada karunia Allah yang teramat besar di balik segala rupa kesulitan dan permasalahan hidup yang dihadapi. Pada permulaannya, ia hanya butuh keikhlasan menerima hidup ini apa adanya, memperbanyak syukur, berpikir positif, dan kemudian menumbuhkan iman dan memperbanyak amal saleh.
Dunia, bila terlalu dikejar, juga tidak akan mampu memberikan apa-apa. Dan lagian, setiap perjalanan, termasuk perjalanan mencari solusi, pasti ada akhirnya. Insya Allah jawaban akan Allah berikan. Baru saja beberapa bulan kan? Belum beberapa tahun? Atau katakanlah, baru beberapa tahun. Belum bertahun-tahun. Sedang kalau kita ingat dosa kita, sudah berapa tahun kita kerjakan? Jangan-jangan sepanjang kita hidup, mulai dari akil baligh sampe sekarang ini, hidup kita banyak bener dosanya. Belum sebanding sama amalan ibadah kita.
Percayalah, setiap perjalanan ada akhirnya. Hanya karena bebannya berat saja, perjalanan kita cenderung seperti lambat. Tapi, lambat pun, tetap berjalan. Sesungguhnya tidak diam di tempat. Asal kita terus berjalan. Tidak berhenti.
Sekali lagi, kejar saja perjalanan waktu dengan amal saleh, dan tetap husnudzdzan kepada Allah. Tetap positif kepada Allah.
Sampe ketemu di esai perkuliahan tauhid berikutnya. Kepada Allah juga kita memohon agar Allah bukakan terus mata hati kita tentang Kebesaran dan Kekuasaan-Nya. Baarokawloohu lanaa. Amin.

Yusuf Mansur