November 25, 2008

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 08 - Tauhid Yang Menggerakkan Iman Yang Menggerakkan Bergerak Menuju Allah


Banyak yang mau berubah,
tapi memilih jalan mundur.

Dalam Kuliah Tauhid ini saya mengajak peserta KuliahOnline untuk segera bangun menuju Allah. Benahin apa yang bisa dibenahin. Ada yang bertanya, waduh saya ga ngerti apa-apa nih? Dosa melulu, ga paham ngaji, ga paham ibadah. Ga apa-apa. Jalan saja. Pergi saja ke Allah. Sebisanya. Artinya ya mulai saja shalat seshalat-shalatnya, sepuasa-puasanya, sengaji-ngajinya. Insya Allah ketika kanal materi selain esai Kuliah Tauhid ini dibuka, itu sama saja dengan pembekalan akan dibekali saban hari. Dan insya Allah ragam kuliah akan membuat lengkap bekal berjalan menuju Allah.
Bergerak. Artinya berjalan menuju Allah. Berusaha membenahi ibadah. Buat peserta KuliahOnline yang saat ini jaya, sehat, keluarganya utuh, rizkinya banyak, inilah saat-saat terbaik menabung sebanyak-banyaknya amal. Ibarat orang menabung, nabung terus. Saatnya memakai tuh uang yang ditabung, tinggal datang menghadap teller, dan pake dah tuh uang. Dah tersedia. Atau malahan tinggal mencet dengan ujung jari lewat keypad atau keyboard (mobile banking atau internet banking). Maka demikianlah pula amalan kita.
Kapan amalan akan sungguh-sungguh kita pakai? Nanti ketika sakratul maut. Itulah babak baru yang sesungguhnya dari kehidupan kita. Saat itulah sungguh sangat diperlukan semua amal. Masya Allah. Mudah-mudahan Allah mengasihi kita semua. Banyak di antara kita yang mengeluh tentang keadaannya di dunia ini. Tapi dia tiada berpikir tentang kemaksiatannya kepada Allah. Dia tiada berpikir betapa malasnya dia beribadah, sementara rizki Allah mengalir keras. Shalat wajib dilakukan di akhir. Tanpa hati. Shalat sunnah? Wuah, entah sudah berapa waktu shalat-shalat sunnah tiada tertegak sempurna. Kadang shalat sunnah, kadang tidak. Dan barangkali lebih banyak tidak tertegaknya dibanding tertegaknya.
Wahai diriku yang mengaku memiliki Allah sebagai Tuhannya. Engkau dituntut untuk beribadah. Karena engkau diciptakan untuk beribadah. Tapi lihatlah, engkau selalu khawatir soal-soal dunia. Tidak khawatir soal-soal akhirat. Saatnya kini engkau membuka mata. Ada yang lebih penting ketimbang soal hutang, jodoh, karir, kerjaan, rumah tangga, anak keturunan, rumah tempat tinggal, perniagaan, kekayaan. Ada yang lebih penting dari itu semua. Yaitu bagaimana kita kembali kepada Allah dalam keadaan amal banyak, diterima dan meninggal dalam keadaan hati yang bersih, diri yang diampuni dan husnul khatimah.
Dan ketika seorang hamba bergerak menuju Allah, melakukan amalan-amalan yang mengantarkannya dekat dengan Allah, maka subhaanallaah, pada saat bersamaan Allah akan angkat setinggi-tingginya derajatnya. Dunia akan Allah serahkan kepada siapa yang Dia percayai. Andaipun ada yang mendapatkan dunia-Nya, padahal ia tiada ahli ibadah malah banyak maksiat, maka sesungguhnya kesengsaraan dan kenestapaan akan menjadi haknya. Tinggal tunggu waktu saja. Atau malah sudah, tapi dia tidak merasakan itu. Dan sebaliknya, bila yang belum kunjung mendapatkan anugerah dari Allah, sabarlah. Semua ada waktunya. Dan anugerah terbesar buat mereka yang mendekatkan dirinya kepada Allah, adalah kedekatan diri itu sendiri! Dunia menjadi tiada arti buat mereka yang menempatkan Allah di atas segala-galanya. Atau, ayo mari kita koreksi lewat pembekalan-pembekalan materi sebelumnya dan husnusdzdzan ke Allah, bahwa Allah subhaanahuu wata’aala berkenan mengampuni dan menyuci dosa-dosa kita dulu, sampe kita kemudian pantas diangkat derajatnya dan diberikan segala yang kita hajatkan. Baarokawloohu lanaa.
***
Satu hari saya jalan melintas di satu daerah. Tetidur di dalam mobil. Saat terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir saya: “Nanti di depan ke kiri ya”.
“Masih banyak, Pak Ustadz”.
Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan. Saya pengen pipis.
Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti. “PakUstadz!”. Dari jauh ia melambai dan mendekati saya.
Saya menghentikan langkah. Menunggu beliau.
“Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya melihat di TV saja…”. Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah, he he he.
“Saya ke toilet dulu ya”.
“Nanti saya pengen ngobrol boleh Ustadz?”
“Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?”
“Saya bosen jadi satpam Pak Ustadz”.
Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang “berhentiin” saya. Lagi enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh nemu pom bensin. Akhirnya ketemu sekuriti ini. Berarti barangkali saya kudu bicara dengan dia. Sekuriti ini barangkali “target operasi” dakwah hari ini. Bukan jadwal setelah ini. Begitu pikir saya.
Saya katakan pada sekuriti yang mulia ini, “Ok, ntar habis dari toilet ya”.
***
“Jadi, pegimana? Bosen jadi satpam? Emangnya ga gajian?”, tanya saya membuka percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini. Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart nya yang dilengkapi fasilitas ngopi-ngopi ringan.
“Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?”
“Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang udah begitu. Distel kayak apa juga, agak susah buat ngerubahnya”.
“Wah, ustadz langsung nembak aja nih”.
Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama ada perkataan saya yang salah. Tapi umumnya begitu lah manusia. Rizki mah mau banyak, tapi sama Allah ga mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari dulu ya begitu-begitu saja.
“Udah shalat ashar?”
“Barusan Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya ga? Ya saya pikir sama saja”.
“Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ adalah juga ibadah?”
Sekuriti itu senyum aja.
Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya, sekuriti itu bisa benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga. Cuma sebatas omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita ibadah, apa yang kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan sebagai ibadah. Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah wajibnya, tetap nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor tujuh belas, ya disebut bohong dah tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita sebagai ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita menerima tamu sementara Allah datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka yang demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi kalau kemudian hasil kerjaan dan hasil usaha, buat Allah nya lebih sedikit ketimbang buat kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh sebutan-sebutan ibadah.
“Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya kan baru jam 5 nih masuk ke pom bensin ini”, saya mengejar.
“Ya, kurang lebih dah”.
Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang ‘alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu. Aqimish shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu, kita bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan sekuriti yang entahlah saya merasa he is the man yang Allah sedang berkenan mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.
“Gini ya Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk mengejar ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu setengah jam andai ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila dalam sehari semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil baligh, sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak ketertinggalan kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam sebulan, dan sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita telat. Itu baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau kelupaan, atau yang lebih bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja mestinya kita dari senang”.
Saudara-saudaraku Peserta KuliahOnline, percakapan ini kurang lebih begitu. Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut mukanya, nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara ya? He he he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini kudu nanya paham apa engga sama lawan bicara?
Saya katakan pada dia. Jika dia alumni SMU, yang selama ini telat shalatnya, maka kawan-kawan selitingnya mah udah di mana, dia masih seperti diam di tempat. Bila seseorang membuka usaha, lalu ada lagi yang buka usaha, sementara yang satu usahanya maju, dan yang lainnya sempit usahanya, bisa jadi sebab ibadah yang satu itu bagus sedang yang lain tidak.
Dan saya mengingatkan kepada peserta KuliahOnline untuk tidak menggunakan mata telanjang untuk mengukur kenapa si Fulan tidak shalat, dan cenderung jahat lalu hidupnya seperti penuh berkah? Sedang si Fulan yang satu yang rajin shalat dan banyak kebaikannya, lalu hidupnya susah. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini cukup kompleks. Tapi bisa diurai satu satu dengan bahasa-bahasa kita, bahasa-bahasa kehidupan yang cair dan dekat dengan fakta. Insya Allah ada waktunya pembahasan yang demikian.
Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, “Terus, mau berubah?”
“Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalo ga serius?”
“Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah nya”.
“Ngebut gimana?”
“Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat asharnya. Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah. Jangan sampe keduluan Allah”.
Si sekuriti mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum azan udah standby di atas sajadah. Kita ini pengen rizkinya Allah, tapi ga kenal sama Yang Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air ini. Kan aneh. Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran Allah memanggil, sedang Allah lah Tuhan yang sejatinya menjadikan seseorang bekerja, malah kelakuannya seperti ga menghargai Allah. Nemuin klien, rapih, wangi, dan persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit pakaiannya, ga ada persiapan, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah dan fisik lelahnya. Ini namanya ga kenal sama Allah.
“Yang kedua,” saya teruskan. “Yang kedua, keluarin sedekahnya”.
Saya inget betul. Sekuriti itu tertawa. “Pak Ustadz, pegimana mau sedekah, hari gini aja nih, udah pada habis belanjaan. Hutang di warung juga terpaksa dibuka lagi. Alias udah mulai ngambil dulu bayar belakangan”.
“Ah, ente nya aja kali yang kebanyakan beban. Emang gajinya berapa?”
“Satu koma tujuh, Pak ustadz”.
“Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran sekuriti, yang orang sering sebut orang kecil, itu udah gede”.
“Yah, pan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak, bayar ini bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz”.
“Itu kerja bisa gede, emang udah lama kerjanya?”
“Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama kerjanya. Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, ustadz”.
“Koq bisa?”
“Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos pegimana gitu sampe ketemu angka 1,7jt”.
“Terus, kenapa masih kurang?”
“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak”.
“Secara dunianya, lepas aja itu tanggungan. Kayak motor. Ngapain juga ente kredit motor? Kan ga perlu?”
“Pengen kayak orang-orang Pak Ustadz”.
“Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang, motornya. Bukan ilmu dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot”.
Sekuriti ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya 900 ribu. Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh darimana dia nutupin kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik. Kalo ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.
“Ya udah, udah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya gimana? Mau diubah?”
“Mau Ustadz. Saya benahin dah”.
“Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sendal, lakukan berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin. Ikutan semuanya ngebenahin shalat”.
“Siap ustadz”.
“Tapi sedekahnya tetap kudu loh”.
“Yah Ustadz. Kan saya udah bilang, ga ada”.
“Sedekahin aja motornya. Kalo engga apa keq”.
“Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya. Tabungan juga ga ada. Emas juga ga punya”.
Sekuriti ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja, tapi sedekahnya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berkehendak lain. Ya lain soal itu mah.
Sebentar kemudian saya bilang sama ini sekuriti, “Kang, kalo saya unjukin bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau percaya?”. Si sekuriti mengangguk. “Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau ngejalanin?”. Sekuriti ini ngangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan jalanin,” katanya, manteb.
“Gajian bulan depan masih ada ga?”
“Masih. Kan belum bisa diambil?”
“Bisa. Dicoba dulu”.
“Entar bulan depan saya hidup pegimana?”
“Yakin ga sama Allah?”
“Yakin”.
“Ya kalo yakin, titik. Jangan koma. Jangan pake kalau”.
Sekuriti ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk sedekah. Sedapetnya. Tapi usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga perubahannya berasa. Dia janji akan ngebenahin mati-matian shalatnya. Termasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha dan tahajjudnya. Dia juga janji akan rajinin di waktu senggang untuk baca al Qur’an. Perasaan udah lama banget dia emang ga lari kepada Allah. Shalat Jum’at aja nunggu komat, sebab dia sekuriti. Wah, susah dah. Dan itu dia aminin. Itulah barangkali yang sudah membuat Allah mengunci mati dirinya hanya menjadi sekuriti sekian tahun, padahal dia Sarjana Akuntansi!
Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia ga betah dengan posisinya sebagai sekuriti. Ga kena di hati. Ga sesuai sama rencana. Tapi ya begitu dah hidup. Apa boleh buta, eh, apa boleh buat. Yang penting kerja dan ada gajinya.
Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan ga apa-apa juga memimpikan sesuatu yang belom kesampaian sama kita. Asal apa? Asal kita barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarin aja harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri, agar mau menambah ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya hidup kemakan dengan tingginya harga. Ga kebagian.
***
Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau kasbon. Ketika ditanya buat apa? Dia nyengir ga jawab. Tapi ketika ditanya berapa? Dia jawab, Pol. Satu koma tujuh. Semuanya.
“Mana bisa?” kata komandannya.
“Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru ini saya berani”.
Komandannya terus mengejar, buat apa? Akhirnya mau ga mau sekuriti ini jawab dengan menceritakan pertemuannya dengan saya.
Singkat cerita, sekuriti ini direkomendasikan untuk ketemu langsung sama ownernya ini pom bensin. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet kasbonan 30% aja belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya menyetujui. Sebab komandannya ini ikutan merayu, “Buat sedekah katanya Pak”, begitu kata komandannya.
Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini. Sebab cerita si sekuriti ini sama komandannya, yang merupakan kisah pertemuannya dengan saya, menjadi kisah yang dinanti the end story nya. Termasuk dinanti oleh bos nya.
“Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya”, begitu lah pemikiran kawan-kawannya yang tahu bahwa si sekuriti ini ingin berubah bersama Allah melalui jalan shalat dan sedekah.
Hari demi hari, sekuriti ini dilihat sama kawan-kawannya rajin betul shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah sunnahnya. Bos nya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat kerjanya jadi barokah dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh begini. Apalagi kenyataannya si sekuriti ga mengurangi kedisiplinan kerjaannya. Malah tambah cerah muka nya.
Sekuriti ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan dia tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal dengan catatan dia berhasil dulu.
Saya ketawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa, saya demen ama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si sekuriti. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah bagi yang belum punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah pasti tidak akan mempermalukannya juga, sebagaimana Allah tidak akan mempermalukan si sekuriti.
Suatu hari bos nya pernah berkata, “Kita lihatin nih dia. Kalo dia ga kasbon saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka kelihatannya dia gagal. Sebab buat apa sedekah 1 bulan gaji di depan yang diambil di muka, kalau kemudian kas bon. Percuma”.
Tapi subhaanallah, sampe akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini ga kasbon.
Berhasil kah?
Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini ga melihat motor besarnya lagi. Jadi, tidak kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman sebab jual motor. Bukan dari keajaiban mendekati Allah.
Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.
“Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bulan loh. Yang lain bakalan gajian. Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren”.
Sekuriti ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau kasbon kalo ampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si sekuriti ini benar-benar bikin bengong orang pada.
Sebab apa? Sebab kata si sekuriti, pasca dia benahin shalatnya, dan dia sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni hidupnya di bulan depan yang dia pertaruhkan, trjadi keajaiban. Di kampung, ada transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya ga trlibat secara fisik. Sekedar memediasi saja lewat sms ke pembeli dan penjual. Katanya, dari transaksi ini, Allah persis mengganti 10x lipat. Bahkan lebih. Dia sedekah 1,7jt gajinya. Tapi Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di kampungnya sebesar 17,5jt. Dan itu trjadi begitu cepat. Sampe-sampe bulan kemaren juga belum selesai. Masih tanggalan bulan kemaren, belum berganti bulan.
Kata si sekuriti, sadar kekuatannya ampe kayak gitu, akhirnya dia malu sama Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual! Uangnya melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin satu-satunya ibunya yang masih hidup. Subhaanallaah kan? Itu jual motor, kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi dia tambahin 12 juta dari 17jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya punya 25 juta. Tambahannya dari simpenan ibunya sendiri.
Si sekuriti masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang ini, ia aman. Ga perlu kasbon.
Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua karyawannya, dan menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya selama 1 bulan setengah ini.
Apakah cukup sampe di situ perubahan yang trjadi pada diri si sekuriti?
Engga. Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner yang lain, dan dijadikan staff keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah, masya Allah. Berubah, berubah, berubah.
Saudara-saudaraku sekalian. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. soal keyakinan dan iman seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya ini bekerja menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan! Begitu saya mengistilahkan. Sekuriti ini mengenal Allah. Dan dia baru sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini dipake sama dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan dirinya, buat perubahan hidupnya.
Subhaanallaah, masya Allah.
Dan lihat juga cerita ini, seribu kali si sekuriti ini berhasil keluar sebagai pemenang, siapa kemudian yang mengikuti cerita ini? Kayaknya kawan-kawan sepom bensinnya pun belum tentu ada yang mengikuti jejak suksesnya si sekuriti ini. Barangkali cerita ini akan lebih dikenang sebagai sebuah cerita manis saja. Setelah itu, kembali lagi pada rutinitas dunia. Yah, barangkali tidak semua ditakdirkan menjadi manusia-manusia pembelajar.
Pertanyaan ini juga layak juga diajukan kepada Peserta KuliahOnline yang saat ini mengikuti esai ini? Apa yang ada di benak Saudara? Biasa sajakah? Atau mau bertanya, siapa sekuriti ini yang dimaksud? Di mana pom bensinnya? Bisa kah kita bertemu dengan orang aslinya? Berdoa saja. Sebab kenyataannya juga buat saya tidak gampang menghadirkan testimoni aslinya. Semua orang punya prinsip hidup yang berbeda. Di antara semua peserta KuliahOnline saja ada yang insya Allah saya yakin mengalami keajaiban-keajaiban dalam hidup ini. Sebagiannya memilih diam saja, dan sebagiannya lagi memilih menceritakan ini kepada satu dua orang saja, dan hanya orang-orang tertentu saja yang memilih untuk benar-benar terbuka untuk dicontoh. Dan memang bukan apa-apa, ketika sudah dipublish, memang tidak gampang buat seseorang menempatkan dirinya untuk menjadi contoh.
Yang lebih penting buat kita sekarang ini, bagaimana kemudian kisah ini mengisnpirasikan kita semua untuk kemudian sama-sama mencontoh saja kisah ini. Kita ngebut sengebut2nya menuju Allah. Yang merasa dosanya banyak, sudah, jangan terus-terusan meratapi dosanya. Kejar saja ampunan Allah dengan memperbanyak taubat dan istighfar, lalu mengejarnya dengan amal saleh. Persis seeperti yang kemaren-kemaren juga dijadikan statement esai penutup.
Kepada Allah semua kebenaran dan niat dikembalikan. Salam saya buat keluarga dan kawan- kawan di sekeliling saudara semua. Saya merapihkan tulisan ini di halaman parkir rumah sakit Harapan Kita. Masih di dalam mobil. Sambil menunggu dunia terang. Insya Allah hari ini bayi saya, Muhammad Yusuf al Haafidz akan pulang ke rumah untuk yang pertama kalinya. Terima kasih banyak atas doa-doanya dan perhatiannya. Mudah-mudahan allah membalas amal baik saudara semua.
Dari semalam saya tulis esai ini. Tapi rampungnya sedikit sedikit. Ini juga tadinya bukan esai sekuriti ini yang mau saya jadikan tulisan. Tapi ya Allah jugalah yang menggerakkan tangan ini menulis.
Semalam, file yang dibuka adalah tentang langkah konkrit untuk berubah. Lalu saya lampirkan kalimat pendahuluan. Siapa sangka, kalimat pendahuluan ini saja sudah 10 halaman, hampipr 11 halaman. Saya pikir, esai ini saja sudah kepanjangan. Jadi, ya sampe ketemu dah di esai berikutnya. Saya berhutang banyak kepada saudara semua. Di antaranya, saya jadi ikut belajar.
Semalam saya ikutan tarawih di pesantren Daarul Qur’an internasional. Sebuah pesantren yang dikemas secara modern dan internasional. Tapi tarawihnya dijejek 1 juz sekali tarawih. Masya Allah, semua yang terlibat, terlihat menikmati. Ga makmumnya, ga imam-imamnya, ga para tamu dan wali santri yang ikut. Semua menikmati. Jika ada di antara peserta KuliahOnline yang pengen ikutan tarawih 1 juz ini, silahkan datang saja langsung ya. Insya Allah saya usahakan ada. Sebab saya juga kebagian menjadi salah satu imam jaganya. Ya, kondisi-kondisi begini yang saya demen. Saya kurangin jadwal, tapi masih tetep bisa ngajar lewat KuliahOnline ini. Dan saya masih sempet mengkader ustadz-ustadz muda untuk diperjalankan ke seantero negeri. Sementara saya akhirnya bisa mendampingi para santri dan guru-guru memimpin dan mengembangkan pesantren Daarul Qur’an ini.
Ok, kelihatannya matahari sudah mulai kelihatan. Saya baru pulang juga langsung dari TPI. Siaran langsung jam 5 ba’da shubuh tadi. Istri saya meluncurnya dari rumah. Doakan keluarga kami ya. Saya juga tiada henti mendoakan saudara dan jamaah semua.

Yusuf Mansur

November 12, 2008

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 07 - Perjalanan Tauhid Perjalanan Keyakinan

Tanggal 30 Agustus 2008, diselenggarakan pertemuan tatap muka (kopi darat) antar-peserta, pengelola web, dan saya. Tapi saya meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Peserta KuliahOnline yang datang di pertemuan kemaren sore sebab saya harus keluar dari pesantren.
Subhaanallaah, saya berdoa semoga semuanya menikmati sajian Allah di dalam kehidupan pesantren yang mereka berada di dalamnya. Ketika saya memonitor lewat handphone, terdengar suara asaatidz pondok beserta para santri yang mengaji surah al Waaqi’ah yang mudah-mudahan diikuti oleh semua Peserta KuliahOnline. Maghrib dan isya juga dilakukan di pesantren bersama-sama dengan para calon Penghafal al Qur’an yang dibina di Daarul Qur’an.
Saya meminta maaf tidak bisa menjamu kawan-kawan semua dengan sempurna sebab ketidakhadiran saya. Sungguhpun kami sudah berusaha memberikan yang terbaik, tapi tetap saja semua beranggapan kurang asem garem. Sebab sayanya tidak hadir. Padahal biasanya kan memang juga tidak hadir, he he he. Namanya juga KuliahOnline, he he he. Dan saya kira, sebab-sebab yang begini inilah kemudian dicari sistemnya dalam sistem Online. Sesuatu pelajaran dan atau pengajian yang digelar tanpa kehadiran fisik. Alhamdulillah, acara kemaren sore berjalan juga satu dua misi. Di antaranya mempertemukan peserta KuliahOnline dengan tim IT WebOnline dan juga bertemunya para peserta KuliahOnline satu sama lainnya dari berbagai entitas dan daerah. Dan saya kira ini adalah salah satu manfaatnya juga. Apalagi mereka bisa makan makanan pondok. Sesuatu yang barangkali jarang-jarang terjadi bagi sebagian yang lain.
Waba’du, saya udah usahakan untuk hadir. Ketika saya tetapkan tanggal 30, sesungguhnya itu juga adalah doa buat bayi saya. Saya berharap Allah subhaanahuu wata’aala memulangkan bayi saya di siang harinya. Biar kedatangannya di sore hari di rumah bisa disambut para santri, asaatidz dan tamu-tamu istimewa saya; peserta KuliahOnline. Saya undang juga beberapa komunitas Wisatahati di sana, seperti Peserta Pesantren Riyadhah, Peserta Kuliah Tatap Muka nya Wisatahati yang sempat diselenggarakan (sementara udah ditutup), dan beberapa simpul donatur. Ternyata Kehendak Allah lain. Saya masih bersama bayi saya. Dan malah saat itu, terjadi hal-hal yang sungguh akhirnya saya malah pulang ke rumah jam 23.30!!! saya harus memainkan peranan sebagai ayah yang baik, suami yang baik, anak yang baik, mantu yang baik, pimpinan pondok yang baik, bahkan kawan yang baik bagi seorang kawan yang mau bunuh diri pada malam itu! Wuah, komplit. Saya berdoa kepada Allah agar peserta KuliahOnline yang datang kemarenan bersilaturahim diberikan keberkahan tersendiri sebab kedatangannya ke tempat yang banyak sekali amal di dalamnya (pesantren).
Alhamdulillah, di situasi-situasi seperti ini (full-traffic) akhirnya Allah mengizinkan KuliahOnline ini berjalan. Salah satu manfaatnya adalah ketidakterbatasannya waktu. Bagi yang tidak bisa mengakses harian, ia bisa mengumpulkan dalam beberapa hari. Baru kemudian diikuti materinya dalam hitungan sekali belajar sekian materi. Namun saran saya, akan tidak efektif rasanya belajar seperti itu. Itu kan sama saja saudara belajar di SMP-SMU tapi ga masuk-masuk. Sekalinya masuk, di beberapa hari menjelang ujian saja. Luangkanlah waktu Saudara. Insya Allah apa yang Saudara pelajari dan apa yang Saudara akan pelajari, bermanfaat untuk kehidupan saudara dan keluarga saudara. Apalagi bila saudara berkenan sedikit repot dengan membagi pelajaran-pelajaran yang saya bagikan ini kepada orang lain. Insya Allah akan bertambah-tambah banyaklah amal kebaikannya. Dan itu pun, kalau Saudara berkenan membagi-bagikan pelajaran, dicicil juga. Jangan dikasihkan sekaligus. Saya khawatir. kalau dikasihkan sekaligus, akan menjadi bacaan biasa. Tidak merupakan kuliah berseri yang akan membentuk kepribadian. Haus ya haus. Tapi ya biasa aja. Biar ga kembung, he he he. Sementara tetap ada banyak yang bertanya, kenapa sih engga dibuka aja kanal-kanal materi lain? Kan materi-materi itu juga bisa dicicil belajarnya? Engga. Saya bertahan untuk memberikan kuliah-kuliah fundamental ini. Dan saya berdoa agar semuanya diberi kesabaran.
Tentang kejadian bayi saya, ada cerita menarik yang saya akan tuliskan sebagai esai kuliah mendatang. Saya menulis ini habis shubuh. Subhaanallaah, sebelum tahajjud saya sempat bermain dengan Muhammad Kun Syafi’i, kakaknya Muhammad Yusuf al Haafidz bayi saya. Kun baru berusia 1 tahun 1 bulan. Dia sudah punya adik lagi, he he he. Produktif ya. Saya menyempatkan berbagi tengokan. Kadang ke pesantren di Bulak Santri. Kadang ke pesantren di Ketapang. Dua tempat yang merupakan karunia buat negeri ini. Di keduanya berkumpul santri-santri yang menghafalkan al Qur’an untuk disebarluaskan lagi ke seantero buminya Allah.
Di edisi mendatang, Kekuasaan dan Keajaiban Allah di bayi saya, mudah-mudahan menjadi pengajaran buat kita bahwa Allah itu memang patut diyakini Keberadaan-Nya dan ga boleh lagi ada keraguan! Sungguh, Dia ada banget-banget. Ga jauh-jauh dari kita. Bahkan di surah al Waaqi’ah yang kemaren Peserta KuliahOnline baca bersama para santri, ada bahagian ayat yang berbunyi: “Dan Kami sesungguhnya teramat dekat dengan kalian, tapi kalian tidak bisa melihat”.
Tapi sebelum saya jadikan kondisi bayi saya dan apa yang terjadi di seputaran waktu terakhir-akhir KuliahOnline ini saya selangkan sebagai materi kuliah, kita bahas dulu materi kuliah sambungan yang memang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Bismillah ya. Kita berdoa terus agar Allah semakin memperkenalkan diri-Nya dengan diri kita dan semakin sayang kepada kita, sungguhpun kita sering menyakiti-Nya, sering mengecewakan-Nya, sering bertanya tentang Pertolongan dan Kuasa-Nya, dan sering mengeluhkan tentang rizki-Nya di saat mestinya Dia marah dengan kelakuan kita. Subhaanallaah astaghfirullah.
Oh ya, kali ini istimewa. Saya sajikan langsung 5 esai kuliah yang mestinya saya bagi menjadi 5 esai kuliah buat 5 hari ke depan. Sebelum meneruskan menyiapkan esai hari ini, saya sempatkan membaca imel-imel yang masuk, pertanyaan-pertanyaan yang masuk, ke meja redaksi. Mudah-mudahan kebijakan saya yang sudah saya langgar ini (mestinya tetap esai ringan per pertemuan, dan berlangsung terus menerus selama 41 hari), menjadi sebuah percepatan yang diridhai Allah. Adapun maksud dan tujuan saya adalah sekaligus sebagai bekal masuk ke bulan suci Ramadhan (sewaktu esai ini dinaikkan, adalah satu hari menjelang tanggal 1 Ramadhan, web admin). Memang kuliah ini bukan kuliah khusus tentang Ramadhan, tapi perkara tauhidnya sangat-sangat terkait dengan Ramadhan. Kalaupun tidak terkait, kelak ia akan terkait juga. Harapan saya, agar Ramadhan ini menjadi bulan penuh support dari Allah dalam upaya kita mencari diri-Nya.
Ok, mari kita pelajari 5 esai berikut ini.
***
Bercanda Dengan Allah

Ketika kita dilanda kesusahan, “bercandalah” dengan Allah.

Seberapa percayanya kita sama Allah? Ini yang menjadi pertanyaan tauhid dan iman kita pada-Nya. Allah akan bekerja sesuai dengan kepercayaan kita pada-Nya. Memang kadang sesuatu berjalan “seperti” tidak sesuai kepercayaan kita pada-Nya. Tapi yakinlah, kita akan kaget sendiri manakala kita teguh berdiri pada apa yang kita yakini.
Tahun 1999, saya lepas dari penjara kepolisian. Sebab ada perjanjian tidak tertulis (damai), bahwa unsur pidana akan dihilangkan jika saya menerima kasus ini betul-betul dijadikan kasus perdata. Saya menerima. Padahal saat itu, untuk menerima kasus ini, berat. Saya tidak berada langsung di balik kasus ini. Ini kasus saya yakini sebagai kasus-kasus istidraj. Istidraj ini artinya dimainkan Allah. Kita punya salah di jalan A, tapi Allah hidangkan kesusahan ketika kita berjalan di jalan B. Maka kasus ini saya terima, dengan pertimbangan mudah- mudahan Allah memaafkan kesalahan saya di tempat lain yang barangkali hukumannya adalah ini.
Tapi efek dari penerimaan ini, saya bilang di atas, berat. Apalagi untuk kondisi saya saat itu. Saya harus membayar 86 juta rupiah dalam waktu hanya 1 bulan. Kalau tidak, maka kasus ini dinaikkan lagi, dan terus berlanjut sampe ke LP. Dan saya “diwajibkan” untuk menyerahkan diri sendiri tidak perlu dijemput petugas. Begitu.
Kondisi saya saat itu, sebagaimana saya ceritakan dalam buku “Mencari Tuhan Yang Hilang”, bener-bener minus. Keluarga nyerah. Sebab emang 86 juta itu bahagian dari hutang 1 milyaran yang harus saya bayar. Kawan-kawan juga pada minggir semua. Ga ada. Kemudian bayangan bakal kebayar, ga bakal ada. Boro-boro buat bayar, buat ongkos pulang dari kantor kepolisian menuju rumah transitan (saya belum bisa pulang sebab satu dua hal saat itu) saja saya bingung. Dan setelah pulang nanti, makan apa, pakai pakaian apa, saya bingung.
Saudara-saudaraku peserta KuliahOnline. Kondisi saya saat itu parah. Pakaian, hanya selembar. Bener-bener hanya selembar. Selama 14 hari saya di dalam tahanan, saya tidak ganti baju! Dan tentu saja saya tidak pakai lagi celana dalam, maaf. Duh, hampir nangis nih saya nulis ini. Tapi saya ga bisa nangis. Sebab sambil saya nulis ini, saya sambil jagain si abang Kun (putra ketiga saya yang masih berumur 1 tahun 1 bulan tadi), dan sesekali jawab-jawab sms dari TV dan dari kawan-kawan pondok yang butuh koordinasi cepat. Kalau saya hanya menulis tentang ini, niscaya saya sudah akan menangis.
Tapi perjanjian itu saya iyakan saja. Saya ga mau mikir jauh. Yang penting bisa keluar dulu, he he he. Cuma, saya pasang niat bener. Bahwa saya bener-bener akan bayar.
Nah, saat itulah saya bercanda sama Allah. Saya menikmati betul candaan itu. Deket sekali terasa Allah itu. Dan memang Dia itu dekat.
Begini, kan ketahuan tuh bahwa saya secara hitungan matematis ga bisa bayar? Bila saya ga bisa bayar dalam satu bulan, maka saya harus menyerahkan diri lagi. Tapi darimana nyari 86 juta dalam 1 bulan? Terutama dalam keadaan saya seperti itu? Saat itulah, semua prinsip-prinsip dasar Wisatahati, dimulai dipraktekkan. Tapi belum ditulis saat itu. Di antaranya: konsentrasi jangan di 86 juta. Tapi di pencarian menuju Allah saja; nyari ridha-Nya, nyari ampunan-Nya. Untuk masalah? Jangan dipikirin! Ntar stress sendiri. Sampe sini, kelihatannya ga adil ya? Biar saja. Allah yang tahu hati saya. Sungguh, dengan cara begini, saya justru sedang berikhtiar membayar 86 juta tersebut! Persis dalam waktu 1 bulan. Saya ga tahu saya bisa bayar atau tidak. Tapi yang saya paham, Allah pasti bisa. Jadi, ngapain juga saya pikirin, biar saja Allah yang mikirin! Gitu lah pikiran saya. Biar saja Allah yang urus. Biar saja Allah yang akan menyiapkan sejumlah uang tersebut. Dengan cara-cara-Nya. Bukan dengan cara-cara saya.
Lalu apa yang saya lakukan? Saya melakukan perbaikan dan perubahan di ibadah-ibadah saya saja; shalat ditepatwaktuin, shalat-shalat sunnah qabliyah ba’diyah, dhuha, tahajjud, witir, baca al Qur’an, zikir, dipolin. Ikhtiar saya apa? Ya itu lah ikhtiar saya. Kan susah loh menjaga rutinitas ibadah dalam keadaan puyeng? Iya ga? Yang ngalamin ini yang bisa jawab dah.
Selebihnya, saya menawarkan kepada Allah menjadi tentara-Nya. Saya ngajar sana sini, ngajar al Qur’an, ngajar komputer, ngajar bahasa, ngajar madrasah, dan lain-lain. Gaji-gaji dari kerjaan-kerjaan saya itu, saya polin buat Allah. Saya tahu ga bakalan mungkin cukup kalau saya tabung. Jadi, saya ambil saja buat makan, selebihnya tos-tosan saja buat Allah. Hingga di pertengahan bulan, saya megang uang nih, dari hasil jualan es dan jadi tukang fotokopi. Besarnya 27.500 rupiah. Uang ini saya timang-timang. Saat itu melintas di pikiran saya, mau bercanda sama Allah!
Saya datangi sekolahan di belakang saya bekerja sebagai tukang fotokopi. Saya minta dihadirkan satu anak yatim yang pintar untuk saya bayarin SPP nya bulan itu. Dihadirkanlah satu anak yatim. Permpuan. Namanya Ummi. Saya katakan padanya, bayaran sekolahnya, bulan ini, saya yang bayarin.
Habis saya bayarin itu, saya gelar sajadah. Saya sujud. Saya katakan kepada Allah yang bagi sebagian yang lain kalimatnya mungkin aneh. Tapi bagi saya, biar saja. Itu ungkapan saking deketnya saya sama Allah. Kurang lebihnya, “Ya Allah, saya udah bayarin tuh satu anak yatim SPP nya. Dan Engkau juga tahu, kalau bulan depan, yang tinggal dua minggu lagi, saya ga bisa bayar hutang yang dibebankan kepada saya, maka saya dipenjara lagi. Ya Allah, tinggal Engkau pilih dah. Kalau Engkau masih tetap membiarkan saya bebas, dan ada waktu, maka saya terusin bayarannya tuh anak yatim. Tapi kalau engga, ya saya bayarin lagi. Sebab ga bisa bayar lagi emangnya”.
Habis itu saya bangun dari sujud, dan segar rasanya. Saya yakin sekali Allah tidak akan mengambil keputusan saya ditangkep lagi. Sebab tarohannya anak yatim. Saya tertawa kecil, seraya meminta maaf kepada Allah.
Dua minggu kemudian peristiwa yang saya sempat khawatirkan, tidak terjadi. Ya, saya boleh sombong sedikit. Saya katakan, saya sempat khawatir saja, bukan khawatir. Sebab apa? Sebab saya serahkan sepenuhnya kepada Allah. Kenapa saya harus khawatir. sudah dengar kan audio yang saya upload? Judulnya: Kenapa Harus Khawatir Padahal Ada Allah? Ya, itulah yang terjadi sama saya.
Nah, karena saya “lolos”, ya saya jalanin janji saya. Saat itu hutang tetap belum lunas. Saya kemudian sadar, doa saya belum sempurna. Kali ini saya sempurnakan.
Saya datang lagi ke sekolah tersebut, saya bayarin lagi SPP anak tersebut. Kemudian saya balik lagi dan sujud, seraya mengatakan (kurang lebih), “Ya Allah, makasih. Udah nolongin saya. Tapi saya hanya bebas doangan sementara. Sebab hutangnya belum selesai. Ya Allah, saya akan tambahin dari sekarang, 1 SPP lagi untuk 1 anak yatim yang lain. Saya mohon kepada-Mu ya Allah, kali ini, dengan wasilah amal ini, bayarkanlah hutang tersebut”.
Subhaanallah, Allah rupanya juga bercanda bersama saya. Masalah itu insya Allah bergulir sempurna penyelesaiannya. Dan tahu ga? Anak yatim kedua yang saya bayarin, namanya Maemunah. Dan Maemunah ini beberapa bulan kemudian jadi istri saya! Maemunah saat saya nikahi, masih duduk di bangku SMP kelas 3. Dan dia satu sekolah dengan si Ummi tadi. Secuplik kisah-kisah saya, saya tebar di berbagai buku saya. Silahkan dikoleksi ya. Saya bukan promosi, tapi sedang jualan, ha ha ha.
Ya sudahlah. Inilah kisah saya. Saya anggap ini kisah perjalanan tauhid. Kisah perjalanan saya mencari Tuhan. Mencari Tuhan yang hilang dari diri saya, dari hati saya. Maka nya kelak kemudian kisah-kisah perjalanan saya diberi judul: Wisatahati Mencari Tuhan Yang Hilang.
Di esai KuliahOnline berikutnya, kita akan pelajari kisah hebatnya keyakinan seorang tukang nasi yang kemudian membawanya pada perubahan hidup. Ya saudara-saudaraku, jika kita percaya dan yakin sama Allah, insya Allah hidup kita akan berubah ke arah yang kita kehendaki. Semua memang butuh perjalanan waktu, tapi percayalah, perjalanan waktu ini akan sampai juga. Sampe ketemu di esai berikutnya.
***
Air Gula Untuk Bayiku

Saya yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kita. (IS)

Awal tahun 2007, IS menonton TV. Di sana ada saya katanya sedang bertutur, bahwa kalau mau ditolong Allah, tos-tosan saja sedekahnya. Dan insya Allah akan diganti sama Allah dalam 1 minggu. Itu kalau kita percaya Allah menggantinya dalam 1 minggu.
Saat itu, ia ada uang 1 juta. Uang itu sejatinya ditahan untuk tabungan bayar kontrakan yang 2 bulan lagi bakalan habis. Juga susu anak, listrik, dan lain-lain.
IS dan istrinya sepakat untuk menyedekahkan uang itu, dengan segala resikonya.
Sekian minggu ia tunggu keajaiban sedekah, tapi tak kunjung datang. Susu anak sudah ia gantikan dengan air gula. Masa katanya mati. Ia kasih biskuit2 kecil pengganjel makanan. Rasa sesal di hati istrinya selalu ia tepis dengan keyakinan bahwa Allah tidak mungkin menyia-nyiakan iman dan amal salehnya a/ janji-janji Tuhannya.
Keyakinan dan kesabarannya berbuah. Keridhaan bayinya juga meminum air gula, membuat keberkahan Allah datang. Dan datangnya ga maen-maen. Ia dapat order menangani katering 16rb orang 3x sehari, alias katering dengan 48rb porsi per hari. Ini menjadi berkah buatnya. Hanya dalam hitungan beberapa bulan saja, uangnya sudah 1 milyar.
Dari dia, ada pesan yang disampaikannya lewat saya. Sekali sudah ditempuh jalan Allah, tidak ada cerita tidak berhasil. Pasti berhasil. Hanya, sabar, dan terus jalani kehidupan ini. Biarlah ia mengalir, melewati tikungan anak sungai yang namanya kesulitan, kesukaran, sebagaimana alaminya alam ini yang berisi dua hal; kesenangan dan kesusahan. Sungai pasti ada ujungnya. Dan inilah yang menjadi keyakinan kita.
Ada juga bumbu kisahnya yang tak kalah menariknya. Di tengah situasinya yang hampir bener-bener game over, hampir mereka ini pinjam uang ke kerabat dekat, atau bahkan orang tua. Tapi mereka ga jadi minjem. Mereka bilang, andai mereka jadi pinjam, maka Allah belum tentu bakal turun tangan. Mereka saat itu pasrah. Andai mereka diusir dari kontrakannya, andai mereka tidak bisa bayar listrik kontrakannya lalu malu kepada yang punya kontrakan, andai mereka tidak bisa membeli susu buat bayinya lalu bayinya jadi sakit, atau mati sekalipun, maka biarlah Allah tahu, bahwa semua ini terjadi sebab mereka berdiri di atas keyakinannya akan janji-janji Allah. Masa iya itu semua akan terjadi? Begitulah IS dan istrinya meyakinkan diri mereka. Dan sekalian saja pikir mereka, mereka betul-betul kosong, supaya Allah segera menunjukkan Kuasa-Nya. Subhaanallaah.
Di saat “bercanda” dengan kesusahannya, IS dan istrinya menawar sebuah rumah bagus. Ga tanggung-tanggung seharga 700 juta, sebagai “alternatif” andai mereka benar-benar diusir dari kontrakannya. Dia tawar rumah tersebut, dan mengatakan akan membayar dalam tempo 2 bulan. Cara bicaranya meyakinkan, sungguhpun si pemilik rumah tidak yakin dengan penampilan pembeli rumahnya. Dan itu kelak benar-benar terjadi. Masya Allah. Bahkan bukan hanya rumah itu yang bisa ia beli tepat waktu. Tapi juga ia bisa membangun satu perusahaan katering dengan aset hampir 20 milyaran dalam tempo hanya 1 tahun. Bahkan untuk tahun 2008, dia memegang kontrak katering yang sangat-sangat besar. Sejumlah 37 milyar rupiah.
Subhaanallaah, alhamdulillah.
***
Menjadi Lemah

Hanya bersandar kepada Allah dan yakin pada pertolongan-Nya, kita menjadi kuat.

IS, sang penjual nasi yang mendapat berkah tersebut, belum tentu mendapatkan berkah yang begitu banyak, andai ada perubahan suasana hati.
Koq jahat bener ya Allah? Hanya gara-gara perubahan suasana hati,lalu berkah amal saleh Allah tidak beri. Ya memang ini akan jadi diskusi panjang. Mudah-mudahan bisa dibahas di lain tempat.
Sekarang, kita coba bahas IS tersebut.
Allah menyuruh kita percaya pada-Nya, mengikuti seruan-Nya, dan bersandar hanya pada- Nya. Lalu IS dan istrinya percaya pada Allah. Dia sedekahkan uang 1jt-1jt nya yang ia punya, padahal uang ini sejatinya untuk bayar kontrakan dan bayar ini itu.
Ternyata, sampe hampir dua bulan, Allah ga balas-balas tuh amal salehnya. Setidaknya menurut pengetahuan dan perasaannya. Kan, kadang begini, Allah sebenernya udah balas, cuma kitanya aja yang ga berasa. Sebab belum tentu juga balasan Allah itu hanya uang. Bisa juga balasannya berupa panjang umur, sehat, anak sehat, keluarga bahagia, dan seterusnya. Tapi oke lah, IS dan istrinya menunggu balasan Allah. Tapi ya itu tadi, balasan Allah ga kunjung datang.
Ketika kesulitan relatif memuncak; Kontrakan udah mau habis, air susu anak sebagaimana diceritakan sebelumnya sudah diganti dengan air gula, mereka berinisiatif untuk meminjam kepada orang tuanya. Tapi mereka urungkan ini. Mereka khawatir mereka menjadi lemah.
Saya mengamini, ya mereka akan menjadi lemah, manakala mereka berpindah sandaran. Mereka udah benar. Bertahan saja dengan kesusahannya itu. Makin susah, makin baik. Biar Allah tahu bahwa mereka jadi tidak bisa bayar kontrakan sebab uang kontrakannya disedekahkan. Biar Allah tahu bahwa anak mereka mengalah minum air gula sebab jatah susunya disedekahkan.
Kondisi-kondisi begini kalo dibawa ke shalat malam lalu diadukan ke Allah, wuah, cakep banget. Bahasanya tentu saja bukan bahasa mengeluh. Tapi bahasa pasrah. Misal, “Ya Allah, kami serahkan uang kami kepada-Mu. Sedang Engkau tahu tidak ada yang kami miliki lagi kecuali itu. Dan Engkau pun tahu ya Allah, bahwa uang itu sedianya untuk membayar kontrakan, susu dan yang lain-lainnya. Ya Allah, andai balasannya adalah ampunan-Mu, kasih sayang-Mu, ridha-Mu, kepanjangan umur kami dalam keadaan sehat dan beriman, maka tidak mengapa ya Allah Engkau tidak membalas sedekah kami dengan uang. Tapi ya Allah, kami pun tahu bahwa Engkau tidak akan mengingkari janji, dan Engkaulah Yang Maha Memberi Rizki, Engkau pula Yang Maha Memenuhi Kebutuhan-kebutuhan kami…”.
Nah, kalo kita sudah melengkapi dengan doa semacam ini, dengan kepasrahan semacam ini, cakep bener tuh. Sayang, kalo kemudian kita “melengkapi” sedekah atau amal kita, dengan malah pindah sandaran ke manusia.
Saya membayangkan, andai IS bener-bener minjam ke orang tuanya, bisa saja IS dapat uang. Tapi kemudian pertolongan Allah tidak akan bener-bener terasa. Beda, kalau udah setengah pingsan, kemudian pertolongan Allah datang, wah, ini baik benar untuk menambah keyakinan dan iman kita. Akan terasa benar pertolongan Allah itu.
Apalagi kenyataannya, belum tentu ketika IS dan istrinya minjam ke orang tuanya lalu orang tuanya menyediakan, atau orang tuanya ada uangnya. Belum tentu. Jangan-jangan malah menjadi lemah kita adanya.
Misal, terjadi dialog yang melemahkan seperti ini. Kita berandai-andai istrinya IS yang maju ke orang tuanya:
(+) Pak, boleh saya pinjam uang?
(-) Suamimu kemana?
(+) Ada.
(-) Kalo ada, koq minjem uang sama Bapakmu ini?
(+) Ada. Tapi uangnya yang ga ada.
(-) Emangnya ga kerja?
(+) Kerja.
(-) Koq kerja ga ada duitnya? Buat apa kerja?
(+) Sebenernya ada sih Pak.
(-) Loh, kalo ada, koq masih tetap minta sama Bapak?
(+) Uangnya disedekahkan dua bulan yang lalu.
(-) Maksudnya?
(+) Ya, dulu ada duit. Tapi ngelihat Ustadz Yusuf di TV.
(-) Apa hubungannya?
(+) Katanya, kalo mau kaya, ya sedekah apa yang kita punya.
(-) Wah, ya engga gitu. Sedekah koq pengen kaya.
(+) Ya, saya juga sudah sampaikan itu.
(-) Terus, suamimu tetap maksa?
(+) Iya.
(-) Ya, sudah. Itu kebodohannya.
(+) Tapi Pak, saya butuh banget uang itu. Buat susu anak. Sama kontrakan.
(-) Ya, minta sama suamimu itu. Berapa uang yang dulu kamu sedekahkan?
(+) 1 juta Pak
(-) Bagus! Bapakmu ini saja ga pernah dikasih uang 1 juta…
Nah, kalo situasi dialog ini yang terjadi, kira-kira apa yang akan terjadi? Lemahlah istrinya, dan tidak baguslah hubungan antara mertua dan mantunya itu. Bahkan, sang istri pun sekarang akan jadi serba salah.
Tapi kemudian IS dan istrinya memilih keep silent. Dia pasrah saja sama Allah. Ya akhirnya kejadian dah apa yang diceritakan di tulisan sebelumnya ini. Wallahu a’lam.
***
Uang bensin yang ditukar 1000x lipat

Allah percaya kepada manusia. DIA berikan dan DIA titipkan alam ini pada manusia. DIA bahkan titipkan rizki dan karunia khusus untuk manusia. Tapi manusia banyak yang tidak percaya pada-Nya.

Sampe mana kepercayaan akan janji Allah itu bisa bekerja untuk kehidupan kita? Sampe tidak ada “koma”nya. Melainkan hanya ada “titik”. Titik ya titik, alias percaya ya percaya. Jangan ada tanda tanya ke Allah. Dan jangan ada keluhan, apalagi sampe terjadi penyesalan. Bahkan pada tataran yang ekstremnya, ketika seseorang sudah percaya sama Allah, tidak usah kemudian mencari jalan yang lain. Lalui saja kehidupannya dengan bergantung penuh pada ketetapan Allah dan berjalan terus dengan kepercayaannya itu. Insya Allah di ujung perjalanan kita, sungguh penuh dengan kejutan-kejutan indah.
Syahdan, seorang buruh pabrik bersedekah 1000 rupiah di akhir pengajian tentang sedekah. Sedangkan uang 1000 ini sedianya untuk membeli bensin yang memang harganya saat itu Rp. 1.700 per liter. Jadi, 1000 rupiah tersebut untuk beli setengah liter bensin. Maklum, hanya buruh perkebunan. Yang penting motornya bisa jalan bolak balik ladang ke rumah, rumah ke ladang.
Tapi hari itu, dia memilih menyedekahkan uang 1000 rupiah itu untuk berharap keajaiban sedekah bisa terjadi pada dirinya. Sungguh ia pun bosan dengan keadaan dirinya. Andai sedekah bisa membuat dirinya bisa banyak rizki, kenapa tidak.
Segala keraguan ia tepis. Termasuk bayangan mendorong motornya apabila bensinnya habis di tengah jalan. Ia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa bensinnya pasti cukup membawanya pulang ke rumah. Tapi di saat yang sama, ia pun mencoba menghibur bahwa ia siap saja mendorong motornya itu sampe ke rumah. Inilah yang ia anggap perjuangan sedekah.
Dan apa yang terjadi, baru beberapa ratus meter saja, bensinnya sudah habis. Jadilah ia mendorong motornya itu.
Mengeluhkah ia? Tidak. Ia siap. Maka ia nikmati saja kejadian ini. Ia dorong motor ini dengan enteng, padahal motornya ini VESPA!
Dan pertolongan Allah itu benar-benar nyata. Baru beberapa langkah ia mendorong, ia dihampiri oleh pengendara mobil kijang yang ternyata kawan lamanya yang sedang berkunjung ke kampung tersebut. Oleh kawannya ini, ia dibelikan bensin yang cukup baginya menghidupkan motor. Tidak cukup sampai di situ, pengendara kijang ini kemudian memberikan uang 1jt di dalam amplop tertutup, yang baru ia ketahui jumlahnya ketika ia sampai di rumah. Subhaanallaah, betapa benar janji Allah. Terlebih lagi terhadap mereka yang tetap memegang teguh kepercayaannya kepada Allah.
***
Jangan Memperlemah Diri Lagi

Banyak keadaan-keadaan yang bisa memperlemah iman kita pada janji-janji-Nya. Kiranya kesabaran dan usaha menambah ilmu, akan membuat kita terpelihara.

Saudaraku yang membaca kisah tentang “motor yang kehabisan bensin” sebelum tulisan ini, saya akan mengajak saudara memperdalam situasinya, sambil belajar di mana gerangan kesalahan kita ketika kita menempuh jalan-jalan Allah, jalan-jalan riyadhah. Yaitu banyak di antara kita yang berubah menjadi pemarah kepada Allah lantaran menganggap cara-Nya Allah tidak sakses membuat kita mencapai keinginan kita. Tidak sedikit para pencari pertolongan Allah lalu malah berubah menjadi mengeluh kepada Allah, dan cenderung menyalahkan Allah. Tidak sedikit juga orang-orang yang menjadi lemah sebab bersandar kepada orang lain, setelah ia menyandarkan dirinya kepada Allah. Artinya, ia malah berpaling kepada selain Allah. Langkah yang sudah betul, berubah di ujungnya.
Dan tidak sedikt juga yang berubah sebab ia “keliru” bertanya kepada yang tidak luas ilmunya. Terus terang, saya sendiri juga kadang “kerepotan” dengan pertanyaan-pertanyaan jamaah, yang mana ia konfirmasikan ilmu-ilmu tentang sedekah kepada para ustadz yang “tidak sepaham”. Akhirnya, tidak sedikit mereka yang malah jadi dosa. Sudah mah jadi menyesal, mereka bahkan su-udzdzan kepada saya.
Saya kerap memberitahu, bahwa ketika jalan ibadah; sedekah, shalat-shalat sunnah, dan doa ditempuh, maka ia pasti akan berhasil. Tinggal tunggu waktu. Sambil mengisi waktu, tempuhlah juga jalan kesabaran dan keistiqamahan menegakkan terus ibadah-ibadah tersebut sambil menanti penuh harap kepada Allah Yang Tidak Pernah Mengecewakan.
Baik, sesuai dengan mukaddimah di sub tulisan ini, saya akan ajak saudara memperdalam situasi kisah motor yang kehabisan bensin tersebut.
Pada kasus motor yang kehabisan bensin, ia tidak akan mendapatkan berkah ketemu dengan pengendara kijang andai ia “beralih” kepada bantuan orang lain. Misal begini, setelah sadar bahwa ia “meminjamkan” uang kepada Allah, lalu ia menjadi tahu bahwa bensinnya dikhawatirkan tidak cukup, ia kemudian memutuskan untuk “meminjam” kepada orang lain. Menurut saya, ini sama saja tidak menyempurnakan kepercayaannya kepada Allah. Orang lain menganggap ini sebagai ikhtiar, sedang saya menyebutnya kepercayaan yang lemah. Makin kita pasrah kepada Allah, semakin enak kita “mengadukan” kelemahan-kelemahan kita.
Dan niscaya juga ia bertambah lemah, andai ia benar-benar meminjam kepada manusia. Apalagi kalau orang yang ia pinjam duitnya itu menyalahkan dia. Misal, terjadi dialog:
(+) Mas, boleh saya pinjam uang…?
(-) Buat apa…?
(+) Buat beli bensin.
(-) Lah, emangnya kenapa bensinnya, habis?
(+) Belum. Tapi kayaknya dikit lagi juga habis.
(-) Udah tahu bensin bakalan habis, koq masih dibawa juga motornya.
(+) Tadinya bawa duit Mas. Buat beli bensin.
(-) Sekarang mana duitnya? Koq minjam?
(+) Dipakai buat sedekah. Habis itu, saya ga ada duit lagi.
Orang yang dimintakan duitnya ini barangkali tertawa… “Mas, seribu kali percaya sama si ustadz tersebut, mbok ya mikir. Udah tahu bensin udah mau habis, dan uang tersebut mau digunakan untuk membeli bensin, eh, malah disedekahin. Ini sama saja nyulitin diri sendiri. Coba kalo bener-bener mogok, dan mogoknya bukan karena motornya rusak? Tapi karena bensinnya habis? Sudah mah susah, malu lagi…”.
Pengendara motor ini akan makin tertekan, manakala ia makin disudutkan, “Mas, malah mas ini membuat sulit orang saja. Lain kali kalo mau sedekah, pikirin dulu kebutuhan sendiri. Jangan sampe bikin orang susah saja”.
Wah, coba. Udah mah engga dapet, dihina dan diperlemah pula. Dan orang tersebut tidak salah. Kelihatannya kan betul. Tapi inilah cerita sedekah. Kalo normal-normal saja, ya ga ada keajaiban sedekah.
Taro kata begini, dia minjem, lalu bener-bener dapet pinjaman untuk beli bensin, maka ga bakal ketemu dengan pengemudi kijang yang membuatnya dapat uang 1000x lipat dari yang ia sedekahin. Koq gitu? Lah iya, kan lancar. Ga ada “penghentian waktu” atau “penghentian perjalanan”, sebab bensinnya penuh dan motornya ga mogok. Kalo begini, mana ketemu dengan si pengendara kijang.
Percayalah sama Allah. Tempuhlah jalan-jalan riyadhah. Dan jangan menyisakan sedikit pun ruang di hati, bahwa kita masih butuh bantuan manusia. Kita hanya butuh bantuan Allah saja. Bukan yang lain.

Yusuf Mansur

November 8, 2008

Modal Mimpi & Action

Saya hanya ingin share satu pengalaman tentang rahasia yang saya tonton di film The Secret dan buku Quantum Ikhlas yang saya beli setahun yang lalu. Rahasia yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Rahasia tentang sebuah hukum. Hukum Ketertarikan. Law Of Attraction (LOA).
Hukum ini menyebutkan, apa-apa yang terjadi dalam hidup kita adalah karena pikiran kita. Karena kita fokus pada pikiran-pikiran kita. Karena kita menariknya ke dalam hidup kita.
Bila kita fokus dengan sepenuh hati kepada hal-hal yang positif, yang akan terjadi pada hidup kita adalah hal-hal positif. Begitupun sebaliknya.
Nah, kembali ke laptop... eh, kembali ke pengalaman saya. Ada sebuah komplek ruko yang baru dibangun di dekat rumah kami. Saya putuskan membeli ruko di komplek tsb untuk pengembangan usaha distro. Ada satu ruko yang saya naksir. Ruko no. 9 kalo gak salah. Lokasinya sangat strategis. Dilewati lalu lintas yang cukup padat. Waktu itu saya berpikir mau pakai LOA untuk beli ruko tsb.
Karena memang rukonya belum jadi, setiap ada waktu luang saya masuk ke ruko tsb. Saya bayangkan ruko tsb sudah jadi milik saya. Saya rasakan kebahagiaannya dan betapa bersyukurnya saya sudah memiliki ruko tsb. Begitu juga kalau melewati ruko tsb setiap berangkat dan pulang kerja. Istilah kerennya, di-visualisasi dan menginderakan impian.
Gak berapa lama kemudian, saya datang ke kantor developernya untuk mendapatkan info. Setelah tanya sana tanya sini, ternyata ruko yang saya taksir sudah ada yang beli. Sedikit kecewa. Mungkin belum jodohnya, pikir saya waktu itu.
Sepulang dari developer, saya balik lagi ke ruko.
Gak sengaja, di sana ketemu dengan pimpinan proyeknya. Sebut saja Pak M. Ngobrol punya ngobrol, ternyata komplek ruko tsb dibangun oleh 2 developer. Aneh ya. Padahal kelihatannya masih dalam 1 blok. Blok ruko no. 9 bukan dibangun oleh developer yang saya datangi.
Yang lebih aneh lagi, Pak M bilang kalau ruko no. 9 gak jadi dibeli! Tadinya ruko tsb dibeli untuk showroom sepeda motor. Entah kenapa pembeli membatalkan.
Tentu saja developer yang saya datangi sebelumnya, gak terupdate informasi ini.
Benar-benar aneh. Apakah LOA sudah bekerja?
Dengan semangat, saya minta Pak M untuk memberikan nomor telpon bagian marketingnya. Saya hubungi dan akhirnya kami nego harga. Singkatnya setelah deal harga, saya ajukan KPR ruko tsb ke bank.
Namun karena kondisi yang belum memungkinkan, akhirnya ruko tersebut tidak bisa saya beli.
Tapi dari pengalaman ini, saya bisa menyimpulkan bahwa dengan modal mimpi dan action kita bisa mendapatkan yang kita inginkan. Bermimpilah setinggi mungkin. Dan action-lah walaupun itu adalah langkah kecil. Yang penting sudah memulai.
Sama persis dengan salah satu nasehat dari mentor saya, Pak Jaya Setiabudi.
Ciptakanlah masa depan, dengan masa depan.