November 21, 2014

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 18 - Tidak Ikhlas

Tidak Ikhlas?
 
Di esai Bicara Tauhid Bicara Keyakinan, dan di sampel ”sedekah mengantarkan umrah”, saya perhatikan kemudian muncul banyak pertanyaan dari Peserta KuliahOnline tentang ”Ikhlas tidak ya kalau kita bersedekah sebab mengharap imbalan?”.
Sebenernya ini soal klasik yang sering ditanyakan oleh jamaah. Baiklah, saya selang dulu dengan esai tentang keikhlasan dan doa, yang saya ambil seadanya dari buku terbaru saya yang judulnya: ”an Introduction to THE MIRACLE”.
Esai ini seadanya memang saya ambil. Silahkan saja direnungkan. Mudah-mudahan bisa menjelaskan tentang perbedaan antara ikhlas, yakin, nurut sama Seruan Allah, serta doa.
Buat saya ini adalah soal Tauhid. Soal keyakinan, soal kepercayaan. Yakin dan percaya akan seruan Allah dan Rasul-Nya. Yakin dan percaya akan Janji-Janji Allah. Yang lain menyebut ”tidak ikhlas”, saya lebih memilih menyebut ”saking percayanya sama Allah lalu saya melakukannya”. Yang lain menyebutnya ”tidak ikhlas”, saya lebih memilih menyebutnya ”berharap sama Allah”. Dan yang lain menyebutnya sebagai pamrih atas ibadah-ibadah yang dilakukan karena dunia, saya lebih kepengen meyakininya sebagai sebuah keutamaan jalan sebab yang memberikan petunjuk adalah Yang Memiliki Dunia yang juga menyuruh kita beribadah.
Selamat mengikuti esai-esai ini. Insya Allah besok masih saya cuplikkan bahagian dari buku tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ”ikhlas atau tidak ketika kita beribadah lalu berharap imbalan?”. Insya Allah besok saya akan naikkan esai yang judulnya: ”Ibadah: Jalan Rizki Utama”. Tunggu dah besok ya. Waba’du, saya terus mendorong kawan-kawan WebOnline untuk menyempurnakan BelanjaOnline agar peserta langsung bisa mendapatkan buku aslinya. Ini bukan promosi, tapi sekalian nyuruh beli, he he he.
***

Tulisan Ini Bukan Memaksa Anda
Meminta kepada Allah
“… Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon
kepada-Ku...” (QS. al-Baqarah: 186)

Suatu hari Luqman “bingung”… “Kenapa ketika seseorang ibadah kepada Allah, malah lalu enggak boleh minta sama Allah?”
(-) Loh, memangnya siapa yang mengatakan enggak boleh minta?
(+) Ya orang-orang.
(-) Orang yang mana?
(+) Ya yang mengatakan, “Ibadah-ibadah saja… jangan minta-minta sama Allah.”
“Tahajjud, tahajjud saja, jangan tahajjud sebab pengen minta ini minta itu sama Allah.”
Atau, “Sedekah-sedekah saja. Masa sih sedekah karena pengen sesuatu. Salah tuh.”
Orang-orang seperti ini nih yang saya bingungkan, kata Luqman.
(-) Loh, kenapa kamu “menyerang” mereka-mereka itu? Bukannya mereka itu bagus? Dan mengajarkan kemurnian ibadah?
(+) Ya, bagus-bagus saja. Tapi kalau mengajarkan keikhlasan sambil menyekat hamba-Nya dari Allah, apakah masih bagus disebutnya?
(-) Tapi siapa juga yang menyekat? Kan mengajarkan keikhlasan?
(+) Apa coba sebutannya buat mereka yang melarang hamba-Nya meminta sama Allah? Apa bukan menyekat tuh? Memberi dinding antara seorang hamba dengan Allah?
(-) Ya, enggak gitu sih.
(+) Enggak gitu gimana?
(-) Ini’kan sekadar mengajarkan keikhlasan. Gitu loh.
(+) Guru saya pernah bilang, bila ada yang mengajarkan kebaikan, tapi di saat yang sama mengajarkan keburukan, itulah setan?
(-) Maksudnya?
(+) Ya setan’kan masuk lewat pintu ilmu. Satu sisi mengajarkan perbuatan baik harus dilakukan dengan keikhlasan. Tapi di sisi yang lain, seseorang tidak diperbolehkannya meminta sama Allah. Apa ini bukan kerjaan setan?
(-) Wah, terlalu jauh tuh. Masa menyamakan mereka yang berpendapat seperti itu seperti setan?
(+) Ya enggak sih. Tapi’kan begitu cara kerjanya setan. Halus banget. Kita enggak berani ngebantah perkataan, “ibadah-ibadah saja, jangan minta-minta sama Allah.” Iya’kan?
Enggak berani? Sebab kalau berani membantah berarti tidak ikhlas?
(-) Iya juga sih.
(+) Gini... boleh enggak meminta sama Allah?
(-) Boleh.
(+) Meminta itu berdo’a bukan?
(-) Ya... sama dengan berdo’a.
(+) Jadi... boleh nih berdo’a?
(-) Ya, bolehlah... malah jadi ibadah.
(+) Ok, malah jadi ibadah ya?
(-) Ya... jadi ibadah.
(+) Terus... boleh enggak seseorang yang tidak ibadah meminta sama Allah?
(-) Maksudnya?
(+) Boleh enggak seseorang yang tidak shalat misalnya, lalu dia berdo’a kepada Allah?
(-) Boleh saja... berdo’a’kan tidak mempersyaratkan apa pun, kecuali sebagai akhlak.
(+) Jadi, boleh nih, seorang preman misalnya, berdo’a kepada Allah?
(-) Ya... boleh.
(+) Walau dia tidak shalat?
(-) Ya, boleh... meski dia tidak shalat, dia berhak berdo’a.
(+) Lah, lalu kenapa orang yang menempuh jalan tahajjud, menempuh jalan sedekah, lalu jadi tidak boleh meminta?
(-) Iya juga ya... kenapa jadi tidak boleh?
(+) Situ sendiri’kan yang bilang... sedekah-sedekah saja, tahajjud-tahajjud saja, jangan minta-minta sama Allah?
(-) Bener.
(+) Padahal, mestinya kalimat yang benar itu begini... “tidak tahajjud saja boleh meminta, apalagi tahajjud. Tidak sedekah saja boleh meminta, apalagi bila bersedekah.”
(-) Bener.
(+) Dari tadi bener-bener melulu?
(-) Lah, memang bener.
(+) Sekarang siapa yang bingung?
(-) Ya enggak bingung... saya benar, situ benar.
(+) Maksudnya?
(-) Beribadah karena sesuatu’kan jadinya tidak ikhlas?
(+) Yah, itu mah namanya kembali kepada pertanyaan semula.
(-) Kembali bagaimana?
(+) Yah, di depan’kan ditanya, boleh enggak meminta sama Allah tanpa ibadah?
(-) Oh... dialog di depan tadi?
(+) Ya iyalah... dialog yang tadi, masa harus balik lagi?
(-) Jadi... gimana?
(+) Ikhlas itu jangan dikaitkan dengan meminta. Bila seseorang meminta kepada Allah, jangan dikatakan tidak ikhlas dong?
(-) Lalu, mestinya dikatakan apa buat seseorang yang bersedekah lantaran dia susah?
(+) Dikatakan kepadanya, “Dia menempuh jalan yang diberitahu Allah dan Rasul-Nya.”
(-) Oh... gitu ya?
(+) Ya... begitu. Ketika Allah bilang bahwa Allah akan membantu yang mau membantu sesama, lalu ada seorang yang keluar dari rumahnya membantu orang lain karena dia kepengen kesusahannya dibantu Allah, Masa salah?
Bukankah ini berarti dia mempraktikkan cara-cara Allah bila kepengen dibantu. Dan berarti dia dapat pahala tersendiri, yaitu pahala menjawab seruan Allah, pahala nurut sama Allah, pahala percaya sama Allah.
(-) Tapi kan enggak bener dong.
(+) Enggak bener pegimana?
(-) Kok aneh ya, ibadah’kan harusnya murni, ikhlas?
(+) Ya itu tadi... sebab pemahaman ikhlasnya kali yang salah. Mestinya ikhlas itu adalah tidak dikaitkan dengan do’a, dengan permintaan. Kasihan hamba-hamba-Nya Allah yang 
memang kepengen sesuatu dari Allah, dan Allah memang membuka pintu-Nya, dan murah memberi hadiah kepada hamba-Nya yang mau menegakkan ibadah. Lebih kasihan lagi kepada orang-orang yang tidak tahu bagaimana caranya merayu Allah.
(-) Jadi, tetap disebut ikhlas nih, bila seseorang beribadah karena sesuatu?
(+) Kalimatnya barangkali begini, orang itu punya tauhid yang bagus. Punya iman yang bagus. Karena percayanya dia sama cara yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya, lalu dia tempuh jalan itu. Gitu. Secara simpelnya, disebut tidak ikhlas itu kalau ia ngomongin dia punya amal ke kiri dan ke kanan dengan maksud riya atau sombong, sum’ah/berbangga diri. Kalau ke Allah mah namanya do’a, harapan, permintaan, munajat.
(-) Iya juga ya... apalagi meminta itu’kan ibadah juga ya?
(-) Nah... berarti kalau seseorang mau sedekah, dan ia punya permintaan, berarti ada dua ibadah?
(+) Betul... ibadah “sedekah” dan ibadah “meminta”.
(-) Dapat dua pahala ya?
(+) Ya... dapat dua keutamaan.
(-) Paham saya sekarang.
(+) Masa?
(-) Iya.
(+) Lalu masih menyalahkan orang yang bersedekah lantaran proyeknya pengen lancar?
(-) Masih.
(+) Lah?
(-) Ya iya... namanya juga bingung.
(+) Ya sudah... bingung saja terus.
(-) Ya soalnya memang tetap bingung.
(+) Iya... enggak apa-apa. Kan enggak maksa supaya situ mau minta sama Allah. Jadi, ya enggak apa-apa bingung juga. Silahkan saja. Kalau saya mah enggak bingung. Bagi saya, saya percaya sama Allah. Percaya sama cara-cara-Nya Allah. Allah bilang, kalau mau begini, begitu. Kalau mau begitu, begini. Lalu saya ikuti itu. Ini namanya tunduk, patuh, dan taat. Sekali lagi, ini namanya keutamaan dari percaya sama Allah.
***

Yah, namanya juga orang bingung. Luqman sendiri bingung. Anda enggak usah ikut bingung… he… he… he.... Yang jelas Luqman meyakini, banyak orang yang tidak berani minta sama Allah. Padahal Allah sendiri yang menyuruh meminta kepada-Nya. Masa ketika seseorang meminta jadi salah? Iya enggak?
(-) Iya.
(+) Lah... kok ada jawaban lagi?
(-) Tadi nanya?
(+) Nanya apaan?
(-) Tadi nanya... masa ketika seseorang meminta jadi salah? Iya enggak? Ya saya jawab iya.
(+) Wah... sudahlah, nanti jadi panjang lagi!?
***

Minta Terus Jangan Ragu
Allah suka dengan hamba-Nya yang banyak meminta.

Supaya tetap terhubung dengan Allah, maka jadilah orang-orang yang senantiasa butuh sama Allah. Salah satu caranya adalah dengan banyak meminta kepada Allah. Dikabulkan yang satu, minta lagi yang lain. Terus begitu. Enggak apa-apa.
(-) Wah, itu kan kata situ....
(+) Loh, kok kamu lagi?
(-) He… he… he…. Enggak boleh ngomong ya?
(+) Boleh. Tapi saya lagi nulis ini buat pembaca buku ini. Jangan diganggu ya.
(-) Ya udah, silahkan... saya diam saja.
(+) Ok, situ diam saja ya... enggak usah jawab kalau saya enggak minta situ ngejawab. Oke
ya?
***

Kembali lagi dengan kalimat di awal, supaya tetap terhubung dengan Allah, maka jadilah orang-orang yang senantiasa butuh sama Allah. Salah satu caranya adalah dengan banyak meminta kepada Allah. Dikabulkan yang satu, minta lagi yang lain. Terus begitu. Enggak apa-apa.
Luqman Hakim teringat proses kelahiran si Wirda. Boleh dibilang, pagi, siang, malam, ia dan istrinya berdo’a semoga anaknya ini lahir dengan selamat.
Alhamdulillah, lahirlah anaknya dengan selamat. Bayi putri yang sehat, normal, dan cantik.
Berhentikah ia dan istrinya berdo’a?
Iya... mestinya Luqman Hakim dan istrinya berhenti berdo’a jika mereka berdua memuaskan dirinya hanya sampai etape itu saja. Tapi mereka berdua tidak mau berhenti sampe di situ saja. Istrinya Luqman memberitahu suaminya, mengingatkan. “Pah, kita belom aman loh? Wirda memang sudah lahir selamat, tapi’kan belum tahu apakah telinganya bisa mendengar, matanya bisa melihat, kaki dan tangannya bisa digerakkan normal, mulutnya bisa bicara? Artinya, belum aman. Makanya kita harus terus berdo’a, iya’kan?”
Luqman membenarkan. Mestinya seseorang yang merasa perlu sama Allah tidak menghentikan ibadahnya, tidak menghentikan do’anya, melainkan dia terus-menerus memelihara ibadahnya dan terus-menerus berdo’a.
Allah senang bila hamba-Nya mau meminta pada-Nya. Allah tidak akan pernah merasa keberatan dan tidak akan pernah merasa bosan bila ada hamba-Nya yang meminta dan meminta terus.
Percayalah... kepada Allah mah jangan takut meminta, apalagi jika Anda punya amal yang hebat, Anda disayang sama Allah. Memintalah, maka Allah akan memenuhi apa yang kita minta.
”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah : 186)
Justru bila ada hamba-Nya yang tidak mau meminta, aneh. Tentu saja cakep buat dia apabila dia mau meminta ampunan Allah, mau meminta cinta dan kasih sayangnya Allah, mau meminta ridha dan perlindungan-Nya, dan seterusnya. Pokoknya sama Allah mah minta...minta... dan minta... terus meminta. Yang tidak kalah pentingnya, bagaimana ketika permintaan bertambah, ibadah juga bertambah.
“… Kamulah yang berkehendak kepada Allah…” (QS. Faathir: 15)
Memintalah kepada Allah. Sebab meminta itu adalah ibadah seorang hamba kepada Allah, Khaliqnya.?

Sebuah Keutamaan
Ibadah adalah salah satu ikhtiar mendapatkan dunia.
 
Luqman masih tertarik untuk membahas tentang “menempuh jalan ibadah sebagai sebuah keutamaan”.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang menyalahkan orang lain yang beribadah sebagai jalan ikhtiar mencari dunia-Nya Allah. Luqman Hakim lebih menyebutnya sebagai “sebuah keutamaan”.
Ya, mencari dunia dengan jalan beribadah adalah sebuah keutamaan.
Mengapa demikian?
Sebab bukankah mengikuti anjuran Allah dan Rasul-Nya adalah juga ibadah? Dunia adalah milik Allah. Ketika Allah memerintahkan kita begini dan begitu ketika kita mencari dunia milik-Nya, maka ini menjadi sebuah ibadah yang sangat hebat. Di samping tentu menjadi sebuah wujud iman dan keyakinan kepada-Nya. Itu’kan sebutan betawinya nurut, atau percaya.
Saudaraku, terhadap dokter saja, keyakinan kita bukan main hebatnya. Ketika seorang dokter mengatakan, “Anda harus dioperasi segera... dalam hitungan 24 jam!” Wah, kita akan terbirit-birit mengiyakan. Andai kita tidak ada uang pun kita akan mengusahakan setengah mati, pinjam sana pinjam sini. Kalau perlu, kita tinggalkan rumah kita, kita korbankan kendaraan kita untuk mendapatkan uang buat operasi.
Ada ahli desain interior. Dia berkunjung ke rumah kita. Lalu memberikan advisnya tentang tata ruang yang lebih membuat sirkulasi udara rumah kita menjadi lebih bagus, maka insya Allah kita akan mengubah tata letak rumah kita tersebut andai memang kita ada uang.
Atau malah jangan-jangan kepikiran terus untuk sesegera mungkin menjalankan advis sang desainer interior tersebut.
Terhadap saran manusia, terhadap nasihat manusia, kita bak… bik… buk… memikirkan dan mengikutinya. Mengapa terhadap nasihat Allah dan Rasul-Nya tidak kita ikuti? Apakah karena kita tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya? Atau jangan-jangan kita terjebak kepada kesungkanan atau makna keikhlasan yang barangkali perlu dikoreksi? Sehingga ibadah kita tidak bertenaga? Tidak memiliki spirit? Sebab bisa jadi bayang-bayang tidak boleh beribadah karena meminta sesuatu dari Allah; entah itu dunia-Nya, berharap solusi dari-Nya, menjadikan kita seperti setengah-setengah beribadah. Bukan karena penuh pengharapan kepada-Nya, atas janji-janji-Nya sendiri.
Macam gini, Allah menyebut bahwa jalan tahajjud akan membuat hidup seseorang berubah menjadi lebih baik lagi. Bila dilakukan terus-menerus akan membuat seseorang naik terus derajat dan kemuliaannya. Lalu, ada seseorang yang melakukan tahajjud sebab percaya akan firman-firman Allah dan hadits-hadits Rasul seputar tahajjud ini, dan kemudian menyandarkan harapan hanya pada-Nya -sekali lagi, hanya pada-Nya-, apakah ini salah?
Lebih utama mana dengan yang tidak mengerjakannya? Atau lebih utama mana dengan yang mengerjakannya tanpa berharap kepada-Nya? Apalagi kalau kita sepakat bahwa meminta kepada Allah pun merupakan ibadah tersendiri? Tahajjud ya ibadah... dan meminta (do’a) adalah juga ibadah. Maka bila seseorang melakukan tahajjud dan juga berdo’a kepada Allah, bukankah dia malah dapat dua keutamaan?
Terus lagi, Rasul misal pernah bilang juga begini, “Kalau mau dibantu Allah, bantulah sesama.” Lalu, seseorang yang menghendaki pertolongan Allah bergegas menyambut seruan ini untuk benar-benar berharap turunnya pertolongan Allah baginya. Apakah ini salah? Tega bener kalo salah mah.
Saudaraku, ayo! Beranilah meminta. Kalimat bahwa beribadah sama Allah, beribadah saja, jangan minta-minta sama Allah, harus ikhlas, ini menurut saya perlu dilakukan lagi penelitian mendalam. Kasihan orang yang butuh pertolongan Allah yang menempuh jalan ibadah dan jalan-jalan yang diseru-Nya.
Mohon do’a agar Allah memberikan bimbingan kebenaran dari-Nya.