Sebuah
Keutamaan
Ibadah
adalah salah satu ikhtiar mendapatkan dunia.
Saya
masih tertarik untuk membahas tentang “menempuh jalan ibadah sebagai sebuah keutamaan”. Dalam
kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang menyalahkan orang lain yang beribadah
sebagai jalan ikhtiar mencari dunia-Nya Allah. Saya lebih menyebutnya sebagai “sebuah
keutamaan”.
Ya,
mencari dunia dengan jalan beribadah adalah sebuah keutamaan.
Mengapa
demikian?
Sebab
bukankah mengikuti anjuran Allah dan Rasul-Nya adalah juga ibadah? Dunia adalah
milik Allah. Ketika Allah memerintahkan kita begini dan begitu ketika kita
mencari dunia milik-Nya, maka ini menjadi sebuah ibadah yang sangat hebat. Di
samping tentu menjadi sebuah wujud iman dan keyakinan kepada-Nya. Itu’kan
sebutan betawinya nurut, atau percaya.
Saudaraku,
terhadap dokter saja, keyakinan kita bukan main hebatnya. Ketika seorang dokter
mengatakan, “Anda harus dioperasi segera... dalam hitungan 24 jam!” Wah,
kita akan terbirit-birit mengiyakan. Andai kita tidak ada uang pun kita akan
mengusahakan setengah mati, pinjam sana pinjam sini. Kalau perlu, kita
tinggalkan rumah kita, kita korbankan kendaraan kita untuk mendapatkan uang
buat operasi.
Ada
ahli desain interior. Dia berkunjung ke rumah kita. Lalu memberikan advisnya tentang
tata ruang yang lebih membuat sirkulasi udara rumah kita menjadi lebih bagus,
maka insya Allah kita akan mengubah tata letak rumah kita tersebut andai
memang kita ada uang.
Atau
malah jangan-jangan kepikiran terus untuk sesegera mungkin menjalankan advis
sang desainer interior tersebut.
Terhadap
saran manusia, terhadap nasihat manusia, kita bak… bik… buk… memikirkan dan
mengikutinya. Mengapa terhadap nasihat Allah dan Rasul-Nya tidak kita ikuti?
Apakah karena kita tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya? Atau jangan-jangan
kita terjebak kepada kesungkanan atau makna keikhlasan yang barangkali perlu
dikoreksi? Sehingga ibadah kita tidak bertenaga? Tidak memiliki spirit? Sebab
bisa jadi bayang-bayang tidak boleh beribadah karena meminta sesuatu dari
Allah; entah itu dunia-Nya, berharap solusi dari-Nya, menjadikan kita seperti
setengah-setengah beribadah. Bukan karena penuh pengharapan kepada-Nya, atas
janji-janji-Nya sendiri.
Macam
gini, Allah menyebut bahwa jalan tahajjud akan membuat hidup seseorang berubah
menjadi lebih baik lagi. Bila dilakukan terus-menerus akan membuat seseorang
naik terus derajat dan kemuliaannya. Lalu, ada seseorang yang melakukan
tahajjud sebab percaya akan firman-firman Allah dan hadits-hadits Rasul seputar
tahajjud ini, dan kemudian menyandarkan harapan hanya pada-Nya -sekali lagi,
hanya pada-Nya-, apakah ini salah?
Lebih
utama mana dengan yang tidak mengerjakannya? Atau lebih utama mana dengan yang mengerjakannya
tanpa berharap kepada-Nya? Apalagi kalau kita sepakat bahwa meminta kepada
Allah pun merupakan ibadah tersendiri? Tahajjud ya ibadah... dan meminta (do’a)
adalah juga ibadah. Maka bila seseorang melakukan tahajjud dan juga berdo’a
kepada Allah, bukankah dia malah dapat dua keutamaan?
Terus
lagi, Rasul misal pernah bilang juga begini, “Kalau mau dibantu Allah,
bantulah sesama.” Lalu, seseorang yang menghendaki pertolongan Allah
bergegas menyambut seruan ini untuk benar-benar berharap turunnya pertolongan
Allah baginya. Apakah ini salah? Tega bener kalo salah mah.
Saudaraku,
ayo! Beranilah meminta. Kalimat bahwa beribadah sama Allah, beribadah saja,
jangan minta-minta sama Allah, harus ikhlas, ini menurut saya perlu dilakukan
lagi penelitian mendalam. Kasihan orang yang butuh pertolongan Allah yang
menempuh jalan ibadah dan jalan-jalan yang diseru-Nya.
Mohon
do’a agar Allah memberikan bimbingan kebenaran dari-Nya. Dan juga mohon koreksi
apabila ada pembaca yang lebih arif, lebih alim, dan lebih mengetahui tentang
hal-hal apa yang saya tulis. Andai ada kebenaran, datangnya dari Allah. Apabila
ada kesalahan, itulah saya, Yusuf Mansur, yang memang begitu banyak
kekurangannya. Kepada Allah semua kita kembalikan.
***
Ilmu
akan Menjaga Amal
Ilmu
membawa kepada keyakinan. Keyakinan membawa kepada amal. Amal membawa kepada
keberuntungan.
Ada
tiga keyakinan: ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Ilmul yaqin adalah keyakinan berdasarkan ilmu. Saya mengajarkan hikmah
kepada diri saya, kepada keluarga saya, kepada jamaah saya, bahwa sedekah bisa
begini dan sedekah bisa begitu. Lalu saya dan di antara yang diseru,
bersedekah/melakukan sedekah. Inilah salah satu bentuk ilmul yaqin, keyakinan
berdasarkan ilmu. Dengan ilmunya saya lalu terdorong kuat untuk beramal. Dari ilmul
yaqin tersebut, kemudian ada satu dua yang merasakan manfaat sedekah.
Inilah kiranya yang disebut ainul yaqin, keyakinan berdasarkan mata,
berdasarkan pengalaman. Dan ada satu lagi, yaitu yang namanya haqqul yaqin.
Bulat, enggak perlu pengalaman mesti berhasil, mesti manfaat. Yakin... ya
yakin.
Melihat
penjelasan awal di atas, nampaknya kehadiran ilmu, salah satu kepentingannya adalah
supaya mendorong lahirnya amal. Malah dengan adanya ilmu, maka amal itu akan menjadi
terus terpelihara.
Di
buku THE MIRACLE ini, saya menyuguhkan banyak kisah yang menjadi pembelajaran
tentang ilmu, keyakinan, amal shaleh, istiqamah, dan keberkahan.
Kali
ini disuguhkan kisah tentang seorang direksi sebuah perusahaan. Darinya
kita bisa belajar bahwa dengan mengetahui fadhilah sesuatu, ia akan mendorong
kita bukan saja untuk melakukannya, tapi juga untuk memeliharanya.
Suatu
ketika dia merasa jenuh bekerja di dunia perhotelan, jauh sebelum dia menjadi seorang
direktur. Dia memutuskan keputusan yang menurut orang gegabah, yaitu berhenti sebelum
punya pekerjaan lain. Ternyata orang-orang di sekelilingnya, benar. Hingga
sekian lama ia tidak kunjung memiliki pekerjaan. Sampai suatu saat ia mendengar
bahwa shalat Dhuha 4 rakaat bisa membuka pintu rezeki. Bangunlah dia menegakkan
shalat Dhuha ini, 4 rakaat, terdiri dari dua rakaat-dua rakaat. Ajaib! Tidak
berapa lama pekerjaan dia dapatkan.
Tapi
apa yang terjadi? Ilmunya tentang shalat Dhuha, pengetahuannya tentang shalat
Dhuha, tidak mampu membuatnya mengistiqamahkan shalat Dhuha ini. Ia berhenti
shalat Dhuha, dan berhenti pula ia dari pekerjaannya setelah ia menghentikan
dhuhanya itu.
Dia
kemudian shalat Dhuha lagi, 4 rakaat, dua-dua rakaat, atau dua salam. Kejadian berulang,
ia mendapat pekerjaan lain. Tapi lagi-lagi shalat Dhuhanya berhenti. Anehnya, berhenti
juga ia punya pekerjaan. Kejadian ini berulang beberapa kali hingga Allah memberikan
hidayah buatnya untuk tetap menjaga shalat Dhuhanya.
Dalam
satu kesempatan audiensi dengan saya, direktur ini mengakui bahwa suatu saat ia
berpikir, “Jangan-jangan benar, bahwa wasilah shalat Dhuhanya, pintu rezeki
berupa pekerjaan terbuka untuk saya. Dan ketika shalat Dhuha ini saya
tinggalkan, tertutup lagi pintu rezeki yang terbuka itu.”
“Dari
Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, ‘Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat
rakaat di awal siang (dhuha), maka akan Aku cukupkan bagimu siangmu.”
(Hadits
qudsi diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)
***
Berasa;
Bedanya Beramal dengan Ilmu dan tanpa Ilmu
Mereka
yang beramal dengan ilmu,
akan
mendapat perbedaan beberapa derajat.
Sempat
dinaikkan di esai KuliahOnline, cerita tentang seorang pegawai yang makan siang
usai shalat Jumat. Ketika dia lagi makan, datang kawannya menemani satu meja.
Ia pun turut makan. Ketika mau bayar, dia ditahan oleh kawannya ini, “Biar aku saja
yang bayar”, katanya. Jadilah ia dibayarkan makanannya itu. Hitung punya
hitung, makanannya itu 10 ribu.
Apakah
peristiwa itu peristiwa biasa?
Iya,
kalau melihat dari kacamata tanpa ilmu. Kita anggap itu adalah peristiwa biasa,
peristiwa sehari-hari. Tapi andai dia mengetahui sedikit saja tentang fadhilah
amal, subhanallah, dia akan berdecak kagum. Bukan tidak mungkin, dia,
bila terus meningkatkan ilmu dan kepahamannya, akan meningkatkan juga amalnya.
Memangnya
ada apa?
Rupanya
ketika shalat Jumat, dia bersedekah seribu rupiah.
Loh,
hubungannya apa dengan makan siangnya?
Ada!
Bukankah Allah menjanjikan balasan 10 kali lipat? Dan di beberapa hadits kita menemukan
bahwa Allah berkehendak juga membayar sedekah seseorang dengan tunai, ajjaltu
lahu fil ‘aajil. Dibayar kontan. Nah, itulah bayaran kontannya. Cuma, kalo
enggak tahu, dianggapnya itu peristiwa biasa saja. Bukan hadiah dari Allah
sebab amalnya.
Menarik
enggak?
Tergantung.
Kalau saya yang jadi dia, harusnya ini menjadi “brosur yang tidak terlihat” untuk
percaya lebih lagi akan janji-Nya dan memperbaiki amal.
Andai
ya, andai… orang ini ternyata membawa 100 ribu, alias ada pecahan 100 ribu, selain
pecahan seribu, maka ketika “new experiental learning” didapat dan
disadari, tentu ia akan “menyesal” dan “berjanji” akan memperbaiki serta
mengubah kualitas amalnya. Saya memberi tanda kutip, sebab kebanyakan memang
manusia cuma bisa berjanji, he…he…he… tidak mempraktekkan langsung. Harusnya’kan
praktekkan saja langsung. Ya, mestinya langsung dong dia sedekah 100 ribu.
Tapi
sayang, kebanyakan orang tidak berilmu. Sekalinya ada yang berilmu, tidak
berani menyandarkan ilmunya ini menjadi sebuah keyakinan, bahwa peristiwa itu
terjadi pastilah ada hubungannya dengan sedekah di saat shalat Jumat.
Tampaklah
di sini bedanya antara orang yang beramal dengan ilmu dan tanpa ilmu. Saya insya
Allah meyakini, mengapa pula beda derajatnya, sebab memang amalannya beda.
Seseorang
yang berilmu, akan beramal dengan ilmunya itu. Sehingga ada keyakinan dan harapan.
Bukankah keyakinan dan harapan juga adalah sebuah kelezatan ibadah tersendiri?
Di
dalam kehidupan nyata, katakanlah kita bekerja, maka akan terasa beda’kan,
andai, kita tahu hasilnya? Ketika kita tahu bahwa pekerjaan kita akan
menguntungkan, kita bersemangat. Dan bukanlah kesalahan memotivasi diri dengan
hal-hal yang halal yang menjadi hak kita. Membuat kita lebih bersemangat dan
berkreasi.
Mengetahui
fadhilah/keutamaan ibadah juga merupakan suatu ilmu. Mengetahuinya saja sudah
merupakan ibadah. Dan mencari ilmu juga suatu ibadah. Lekas ia akan berpengaruh
buat langkah dan hasil langkah kita.
”Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. al-Mujaadilah: 11)
***
Karena
Ilmu dan Keyakinan
Ada
seseorang yang butuh kejadian sesuatu, yang kemudian mengantarkannya kepada
Allah. Ada juga yang cukup dengan ilmu dan keyakinan yang mendorongnya beribadah,
tunduk dan patuh kepada Allah. Dua-duanya istimewa. Yang salah adalah yang
tidak bergeming, tidak beribadah; baik dengan ilmunya, maupun pengalamannya.
Berikutnya,
kisah seorang yang melakukan ibadah, sebab didahului oleh ilmu dan keyakinan.
Adalah
Iwan, sebut begitu, seorang karyawan di sebuah perusahaan otomotif. Ia mendengar
kuliah dhuha pagi itu di kantornya, bahwa shalat Dhuha 6 rakaat punya fadhilah,
“Allah akan mencukupkan rezekinya.”
Saya
yang menjadi guru tetap di pengajian bulanan tersebut bertutur kira-kira
begini, “Kalo kita percaya sama Allah, kita kudu percaya akan
petunjuk-Nya. Salah satunya ketika Allah dan Rasul-Nya bicara tentang petunjuk
bagaimana mencari rezeki. Dalam banyak bab “Mencari Rezeki”, salah satu yang
dijadikan jalan pembuka pintu rezeki adalah shalat Dhuha.
Allah
bilang lewat Rasul-Nya dalam sebuah hadits qudsi, “Dari Rasulullah Saw, Allah
Swt berfirman, ‘Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat di awal
siang (dhuha), maka akan Aku cukupkan bagimu siangmu.”
(Hadits
qudsi diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)
Begitulah
saya memotivasi para mustami’ (pendengar majelisnya) agar mereka mau berkenan
shalat Dhuha.
Saya
yang menyodorkan janji Allah dan Rasul-Nya sebagai dorongan beribadah mengatakan,
bahwa tidak usah takut mengerjakan shalat Dhuha lantaran janji dan dorongan Allah
dan Rasul-Nya ini. Inilah yang disebut KEUTAMAAN. Bukankah orang yang percaya sama
Allah dan Rasul-Nya disebut orang yang beriman? Sedangkan iman itu apa sih?
Iman itu’kan percaya. Maka ketika Allah dan Rasul-Nya menyeru dengan memberi
dorongan sejumlah keutamaannya, maka inilah kiranya kebaikan Allah dan
Rasul-Nya dan kebaikan seseorang yang beriman yang percaya sama kalam Allah dan
Rasul-Nya.
Berkaitan
dengan shalat Dhuha, di dalam majelis di kantor tersebut, saya kemudian mengatakan
ini, “Ketika seseorang shalat Dhuha 6 rakaat, Allah punya kalam lain,
“Siapa
yang shalat Dhuha 6 rakaat, Allah akan mencukupkan kebutuhannya hari itu.”
Selanjutnya
saya memotivasi, “Jika di antara saudara yang hadir di sini percaya, lalu punya
kebutuhan, punya hajat, dan dia berkenan shalat Dhuha 6 rakaat, percayalah insya
Allah janji Allah ini benar-benar akan terwujud.”
Alhamdulillah. Di
antara jamaah yang hadir, ya Iwan itu.
Iwan
mendengar perkataan saya, “Kejar target, kejar kebutuhan yang diperlukan dengan
mendirikan shalat Dhuha 6 rakaat. Sisihkan waktu. Daripada cape enggak karuan,
mending ngorbanin waktu sedikit untuk mengundang janji Allah terbukti di
masalah dan hajat kita.”
Rupanya
termotivasi betul Iwan mendengar hal demikian. Tidak sabar ia menunggu waktu
pulang. Waktu itu hari Jum’at. Pengajian saya di sana, saban hari Jum’at
pagi keempat tiap bulannya. Ia pengen cepat-cepat pulang. Pengen mengabarkan
kepada istrinya ini.
Pengajian
tadi seakan menjadi solusi baginya, yaitu bagi bayangan kesulitan yang sedang
ada di depan matanya.
Memangnya
apa kesulitannya Iwan ini?
2
bulan lagi ia punya kebutuhan 7,5 juta untuk biaya studi 3 anaknya. Sebagai
karyawan biasa, angka ini besar sekali buat dia. Apalagi dia punya satu dua
cicilan utang. Tapi ia tadi pagi mendengar saya berkata, “Dulu, sebelum tahu
ilmu dhuha ini, seseorang begitu punya kesulitan, sudah berancang-ancang
mencari bantuan dan pertolongan orang lain. Sekarang, enggak usah. Cari saja
pertolongan lewat sisi Allah ini. Nanti Allah yang menyediakan jalan-jalanNya.”
Iwan
mengamini. Memang begitu. Ia dulu bukan saja sekadar berancang-ancang mencari bantuan.
Tapi ia bahkan sudah berjalan mencari bantuan itu! Ke sana kemari.
Ketemu
enggak?
Enggak!
Makanya,
ketika dapat pencerahan pagi itu, ia bahagia sekali. Ia tahu kesalahannya kini.
Ia
cari bantuan orang lain tapi tidak mencari Allah, Pemilik segala bantuan yang
diinginkan.
Ia
tahu kesalahannya. Langkah ia tetapkan untuk mencapai dan mengejar apa yang
menjadi kebutuhannya. Tapi karena ia mencari tanpa ilmu, tanpa pengetahuan
bahwa ada cara mudah dan cepat, yaitu menyandarkan pada kekuatan Allah, ia
punya langkah tak jelas. Kini, dengan shalat Dhuha ia percaya langkahnya ini
menjadi jelas. Sebab jelas juga yang ia tuju; ridha dan pertolongan Allah
melalui shalat Dhuha.
”Katakanlah,
‘Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nyakerajaan langit dan
bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS.
az-Zumar: 44)
Subhanallah!
Mudah-mudahan kita berkeyakinan seperti yakinnya Iwan ini.
Sesampainya
di rumah, bertuturlah Iwan kepada istrinya sebagaimana saya bertutur untuk dirinya.
Iwan lalu meminta istrinya itu menemaninya shalat Dhuha. Ia shalat di kantor di
sela-sela kesibukannya. Istrinya shalat di rumah. Dhuha yang diambilnya 6
rakaat, dengan keyakinan bahwa inilah cara yang benar yang insya Allah menjadi
jalannya menutup 7,5 juta.
Saudaraku,
kita coba berhenti sejenak.
Sampe
sini, banyak orang yang menyalahkan dengan mengeluarkan ungkapan, “Shalat
Dhuha kok untuk uang…? Untuk kebutuhan...?”
Begitu’kan?
Banyak
yang menyalahkan pencari pertolongan Allah lewat ibadah.
Tapi
terserahlah. Masing-masing punya pendapat. Yang penting, jika saudara hanya berdebat,
maka kebesaran Allah tidak akan terjadi. Silahkan sibuk saja terus berdebat.
Tidak usah melakukan.
Akan
halnya Iwan, karena ia melakukannya dengan segenap keyakinan atas informasi (ilmu)
yang didapatnya, maka ilmu dan keyakinannya, bekerja! Keajaiban pertolongan
Allah benar-benar terjadi!
Hanya
selang dua minggu ia melakukan, jawaban untuk dana yang ia butuhkan ia dapati.
Ya,
hanya 2 minggu! Unbelieveable!
Iwan
lapor kepada saya di pengajian Jum’at berikutnya, alias di empat pekannya kemudian.
Bahwa ia tidak berhenti sampe di situ. Ia terus meminta istrinya
meneruskan riyadhah lewat shalat Dhuha ini untuk masalahnya yang lain,
di luar masalah yang 7,5 juta untuk anggaran pendidikan anak-anaknya.
Hebat!
Saya
mengatakan hebat.
Banyak
orang yang tidak percaya, Iwan percaya.
Ketika
seseorang melakukan apa yang diseru Allah dan Rasul-Nya, lalu tatkala Allah membuktikan
kebenaran janji-Nya, orang tersebut berhenti sampai di situ, alias tidak meneruskan
lagi menjadi sebuah pekerjaan yang di-dawam-kan. Sedangkan Iwan? Dia
malah meneruskan.
Hebat!
Ya hebat.
Memang
apa masalahnya Iwan yang lain? Ada lagi?
Namanya
juga manusia. Kalau mau jujur, masalahnya pasti banyak.
Rupanya
Iwan punya utang 50 juta. Ia lumayan pening dengan urusan ini. Otaknya enggak aja
memikirkan yang 50 juta ini. Sebab sebelumnya, yang 7,5 juta enggak tahu bagaimana
ngurusinnya. Karenanya ketika ia berdecak kagum akan dhuha ini, untuk urusan 7,5
jutanya, ia meneruskan dhuhanya tersebut untuk urusan 50 jutanya. Ia yakin,
kali ini pun ia pasti berhasil. Caranya sama, Tuhannya sama, masa iya enggak
berhasil.
Di
depan jamaah lain yang mendengar testimoni Iwan, lagi-lagi saya mengatakan
hebat.
“Seseorang
yang melakukan tanpa ilmu dan tanpa keyakinan saja, insya Allah ia akan
tetap merasakan fadhilah (keuntungan) amal, apalagi yang melakukannya sebab
ilmu, sebab yakin, dan sebab pengalaman. Pasti bertambah subhanallah dah,”
tutur saya menimpali.
Itulah
yang memang terjadi. Iwan bercerita, bahwa 50 juta itu ia dapatkan sebelum
genap ia ketemu Jum’at yang keempat. Alias ia mendapatkan jawaban atas
kebutuhannya itu, juga dalam waktu kurang 2 minggu! Jarak tempuh pencapaian
target hanya 2 minggu sejak ia tetapkan dirinya untuk menempuh jalan shalat
Dhuha 6 rakaat.
Untuk
yang satu ini, saya memiliki komentar yang menarik. Kata saya, percepatan itu terjadi
sebab Iwan mengerjakannya tidak sendirian, melainkan bersama-sama istrinya.
Ibarat memakai kaki untuk berjalan, Iwan memakai kaki yang lengkap, kiri dan
kanan. Jelas lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang berjalan dengan satu
kaki. “Jadi, buat saudara yang kepengen mencapai target kebutuhan rumah
tangga dan usahanya, jangan lakukan sendirian.
Jalankan
bersama-sama istri atau suami masing-masing. Kalau perlu, bersama-sama satu
tim, satu divisi, satu kelompok, bersama karyawan, dan seterusnya. Pokoknya
jangan sendirian.”
“Buat
yang hidupnya memang sendirian gimana Ustadz?” tanya salah satu jamaah.
“Pikirkan
saja cara-cara yang ia bisa melakukannya bersama yang lain. Misalnya, menjamu
kawan kosnya yang beda tempat, sarapan bersama. Lalu utarakan tentang fadhilah dhuha
6 rakaat, dan kemudian lakukan bersama-sama. Atau undang anak-anak yatim
sekitar yang sekolahnya siang. Jamu mereka, dan lakukan shalat Dhuha bersama. Insya
Allah larinya bakal cepat.”
Tidak
lupa saya mengingatkan walau bersama-sama, tapi tetap dengan niat “sendiri sendiri”,
bukan berjamaah.
Nah,
di akhir cerita, Iwan mengaku, “Insya Allah Ustadz, saya
akan tetap menjaga niat, untuk melakukan dhuha bukan karena masalah dan
keinginan, tapi karena Allah semata.”
Terhadap
kalimat yang kayak begini, Luqman mengoreksi, “Jangan berkurang keyakinan Wan.
Yakini apa yang sudah terjadi sebagai sebuah kebenaran. Banyak orang yang tidak
tahu, Iwan tahu. Banyak orang yang tidak yakin, Iwan yakin. Banyak orang yang
gelap bagaimana menyelesaikan masalahnya, bagaimana menjawab keinginannya, Iwan
mengetahui kunci-kuncinya. Masa’kan lalu Iwan membungkusnya dengan kalimat “yang
benar” tapi “tidak tepat” seperti itu. Tidak Wan. Tidak ada yang salah dengan
yang Iwan lakukan sehingga Iwan perlu mengatakan bahwa Iwan akan menjaga niat
untuk melakukan hanya karena Allah. Tidak perlu! Itulah kepercayaan orang yang
beriman. Kepercayaannya bekerja. Bekerja menjadi keajaiban. Satu yang Iwan
perlu lakukan adalah tambah rasa syukurnya dengan tetap melakukan ibadah dhuha
6 rakaat tersebut tanpa perlu ada masalah dan keinginan. Sedangkan bila Iwan
ada lagi masalah dan keinginan, maka itulah yang disebut iman, yaitu Iwan
membawanya lagi kepada Allah dengan cara melakukan petunjuk-Nya.”
Saudaraku,
tulisan bagian ini ditulis dan dimasukkan ke dalam buku “THE MIRACLE”.
Di
mana di buku ini dikupas secara mendalam filosofi amal perbuatan yang dilakukan
dengan berdasarkan ilmu, keyakinan, dan pengalaman, hingga kemudian
diistiqamahkan atau didawam- kan. Maka ketika saudara tidak menghentikan
riyadhah saudara, maka percayalah, keajaiban akan terus menerus terjadi!
Insya Allah.
Percaya
dengan janji dan kalam Allah dan Rasul-Nya, inilah yang disebut iman yang sempurna.
Tambah sempurna dengan menyempurnakan iman menjadi berwujud amal shaleh.?
***
Banyak
yang Tidak Menyadari
Meniti
jalan-jalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, itulah jalan-jalan ikhtiar
yang terbaik. Apalagi kalau kemudian bisa lurus dan istiqamah. Dunia akan dibukakan
Allah buat mereka yang mengabdi kepada Allah. Sebab dunia adalah milik-Nya. Dan
Dia akan menguasakan lagi kepada siapa yang Dia kehendaki.
Banyak
orang yang tidak menyadari, sebab ilmunya yang barangkali kurang, bahwa meniti
jalan-jalan menuju Allah, itulah jalan ikhtiar terbaik. Tidak dekat dengan
Allah saja diberi-Nya dunia, apalagi dekat dengan Allah dan mencari jalan-jalan
untuk dekat dengan-Nya. Pasti dunia tambah lagi diberi oleh Allah. Tapi karena
kurangnya ilmu, maka ketika jalan sudah dibukakan Allah, malah Allah lebih
sering ditinggal. Atau kalaupun tidak ditinggal, maka terhadap Allah kita
sering juga mengurangi jatah perhatian dan waktu untuk-Nya. Astaghfirullah,
saya pribadi pun beristighfar karenanya. Apalagi dengan keangkuhannya manusia,
banyak yang tidak mengakui agama sebagai solusi hidupnya. Banyak yang tidak mengakui
ibadah sebagai solusi ikhtiarnya, bukan sekadar pelengkap.
Pernah
diceritakan kepada saya, ada perusahaan penyedia jasa ruangan-ruangan untuk disewakan.
Pada satu masa, keuangannya menurun. Penyewanya sedikit sekali. Ditenggarai, begitu
menurut mereka, sebab berdiri kompetitor tidak jauh dari lokasi gedung mereka.
Hingga
kemudian karyawannya membuat pengajian.
Dipanggilnyalah
seorang ulama. Pengajian diadakan pagi menjelang zhuhur. Saat zhuhur tiba,
ulama tersebut yang memang masih di sana saat itu, bertanya di mana di ruang
apa kalau mau shalat? Karyawan-karyawan yang ditanya, gelagapan. Sebab
memang gedung ini tidak menyediakan ruang khusus untuk memuliakan orang-orang
yang shalat.
“Selama
ini di mana shalatnya?” tanya ulama tersebut.
“Di
parkiran bawah,” jawab karyawan.
Ulama
ini ngambek. “Wah, mana bisa maju kalau begini? Gedung ini memang siapa
yang ngasih? Kan Allah. Walaupun kelihatannya yang bangun adalah
manusia. Masa terhadap Allah yang sudah memberikan gedung ini; baik uang,
kesehatan, dan kesempatan, untuk memakai dan menikmati gedung ini, eh... malah
dipinggirkan?”
Ulama
ini pulang.
Tertinggallah
karyawan terbengong-bengong. Tapi mereka mengamini. Mulailah mereka melakukan
sesuatu. Mereka bersama-sama menghadap kepada direksi dan menjelaskan peristiwa
ini. Alhamdulillah, direksi setuju. Lalu ada ruangan “yang dikorbankan”
untuk menjadi tempat shalat. Maka mulialah orang-orang yang shalat sebab
ruangan shalatnya menjadi layak dan nyaman.
Sejak
itu, karyawan gedung tersebut banyak yang merasakan bahwa tingkat penyewa kembali
meninggi.
Tapi
apa yang terjadi? Di pers release-nya direksi dan manajemen, menjelang
RUPS, sama sekali tidak disinggung keberhasilan ini adalah sebab memperhatikan
urusan mushalla.
Kelihatannya
sepele; menyediakan orang-orang yang shalat tempat yang layak. Tapi yang sepele
ini justru yang diyakini sebagai pembawa kemakmuran dan kejayaan kembali bagi tuh
gedung dan manajemennya. Sayang, kita itu ya begitu. Kurang mengakui, atau
mungkin kurang berani mengakui bahwa sisi spiritual itu yang menjadikan dunia
ada di genggaman.
Dipikirnya,
urusan spiritual urusan akhirat yang hanya berdimensi akhirat saja.
Saya
mendapat cerita ini, bahwa yang diagung-agungkan sebagai suatu keberhasilan
oleh mereka adalah bahwa manajemen atas melakukan perubahan manajemen. Banyak
tenaga tenaga ahli muda yang berpendidikan serta berpengalaman, masuk, ikut
mengendalikan dan memajukan gedung. Karena itulah gedung ini terang kembali.
Sebab lainnya, begitu kata pers release-nya, adalah komitmen direksi dan
share holders yang begitu tinggi terhadap penampilan dan perbaikan
fisik. Lalu mereka menyebut keberadaan taman depan yang baru, ditambah dengan
jaket gedung yang memang juga baru yang menambah terang gedung tersebut.
Sama
sekali tidak menyebut dengan gagah, “Bahwa kemajuan ini adalah sebab kami menyediakan
tempat shalat yang sangat layak dan nyaman, padahal sebelumnya kami menempatkan
mushalla di lantai parkiran yang pengap.” Tidak ada tuh... tidak
disebut. Saya ketika menerima kisah ini sebagai satu pembelajaran, sempat
sedikit menghibur, “Barangkali mereka tidak mau pamer... nanti disangka riya.”
Yah,
barangkali juga.
Tapi,
sekarang kalau memang begitu, indikatornya gampang. Di antaranya:
•
Apakah perbaikan sarana dan prasarana ibadah menjadi semakin baik?
•
Apakah ada penambahan tenaga khusus untuk mengelola aset yang disebut sangat berharga
itu (kalau memang diaku, tapi tidak mau diekspos sebab takut riya)?
•
Apakah ada penambahan kegiatan keagamaan (kegiatan ibadah)?
Yang
barangkali lebih menohok lagi, apakah ruangan itu masih dipakai untuk ruangan
shalat?
Kelihatannya
sinis ya pertanyaannya, tapi wajar ditanyakan. Sebab maaf, banyak yang kemudian
terjadi begini; sebab laku, kemudian direksi dan manajemen merasa saying mengorbankan
ruangan itu dan mengembalikan ke posisi semula. Masih bagus kalau kemudian
tempat yang disebut mushalla di parkiran itu diperbaiki, bagaimana kalau tetap seadanya,
atau dengan perbaikan yang setengah hati?
Bila
memang itu yang terjadi, maka sebenarnya sama saja tidak ada pengakuan.
Jujur
saja, kita pun suka demikian kok. Sebelum kaya, masya Allah, rajinnya
itu yang namanya shalat-shalat sunnah. Artinya, jangankan yang wajib, yang
sunnah pun dikerjakan habis-habisan. Giliran sukses, giliran kaya, kita
mengorbankan ibadah. Itu’kan menjadi terbalik. Alias jangankan yang sunnah,
yang wajib pun keteteran.
Ini’kan
sama saja dengan kalimat, “Apakah manajemen gedung itu kemudian mengorbankan
ruangan yang sudah membawa mereka kepada kejayaan, ataukah malah memperluas dan
menambah nyaman ruangan tersebut?”
Inilah
di antara sebab orang kemudian berkata, “Makanya jangan shalat karena masalah atau
hajat. Sebab nanti shalatnya kendor setelah masalah dan hajat tercapai.”
Padahal,
jika seseorang “menghentikan” shalatnya atau “mengendorkan” shalatnya, maka sebutannya
adalah “kufur nikmat”. Jangan kemudian menyalahkan niat.
Ini
pula yang mengakibatkan seseorang barangkali mengatakan “kudu ikhlas dalam sedekah
(ibadah)”. Sebab dikhawatirkan sedekahnya takutnya hanya untuk tujuan-tujuan dunia.
Padahal, sekali lagi, sedekah untuk tujuan-tujuan dunia adalah dibenarkan.
Karena menjadi cara yang ditunjukkan Allah. Sedang sesuatu yang ditunjukkan
Allah pun, itu ada keridhaan-Nya di dalamnya.
Wallahu
a'lam.
Ustadz Yusuf Mansur