October 17, 2015

Hasanah Card

Apa itu Hasanah Card?

iB Hasanah Card merupakan kartu pembiayaan yang berfungsi sebagai kartu kredit berdasarkan prinsip syariah, yaitu dengan sistem perhitungan biaya bersifat tetap, adil, transparan, dan kompetitif tanpa perhitungan bunga.


iB Hasanah Card adalah kartu berbasis Syariah yang berfungsi seperti kartu pembiayaan sehingga diterima di seluruh tempat bertanda MasterCard dan semua ATM yang bertanda CIRRUS di seluruh dunia.

iB Hasanah Card adalah salah satu kartu kredit yang menggunakan akad Syariah, yang diterbitkan oleh BNI Syariah, berikut ketentuan Fatwa:

Akad Kafalah

BNI Syariah adalah penjamin bagi pemegang iB Hasanah Card timbul dari transaksi antara pemegang iB Hasanah Card dengan Merchant, dan atau penarikan tunai.

Akad Qardh

BNI Syariah adalah pemberi pinjaman kepada pemegang iB Hasanah Card atas seluruh transaksi penarikan tunai dengan menggunakan kartu dan transaksi pinjaman dana.

Akad Ijarah

BNI Syariah adalah penyedia jasa system pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang iB Hasanah Card. Atas Ijarah ini, pemegang iB Hasanah Card dikenakan annual membership Fee.

Batasan Penggunaan iB hasanah card

iB Hasanah Card tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan Syariah dan juga tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf). Pemegang iB Hasanah Card harus memiliki kemampuan financial untuk melunasi pada waktunya.
iB Hasanah Card terdiri dari 3 jenis kartu : classic, gold dan platinum.

Untuk mempelajari lebih lanjut dan pendaftaran iB Hasanah Card, silahkan klik di sini >> http://yuk.bi/h294

June 6, 2015

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 21 - Sebuah Keutamaan


Sebuah Keutamaan 

Ibadah adalah salah satu ikhtiar mendapatkan dunia. 

Saya masih tertarik untuk membahas tentang “menempuh jalan ibadah sebagai sebuah keutamaan”. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang menyalahkan orang lain yang beribadah sebagai jalan ikhtiar mencari dunia-Nya Allah. Saya lebih menyebutnya sebagai “sebuah keutamaan”.
Ya, mencari dunia dengan jalan beribadah adalah sebuah keutamaan.
Mengapa demikian?
Sebab bukankah mengikuti anjuran Allah dan Rasul-Nya adalah juga ibadah? Dunia adalah milik Allah. Ketika Allah memerintahkan kita begini dan begitu ketika kita mencari dunia milik-Nya, maka ini menjadi sebuah ibadah yang sangat hebat. Di samping tentu menjadi sebuah wujud iman dan keyakinan kepada-Nya. Itu’kan sebutan betawinya nurut, atau percaya.
Saudaraku, terhadap dokter saja, keyakinan kita bukan main hebatnya. Ketika seorang dokter mengatakan, “Anda harus dioperasi segera... dalam hitungan 24 jam!” Wah, kita akan terbirit-birit mengiyakan. Andai kita tidak ada uang pun kita akan mengusahakan setengah mati, pinjam sana pinjam sini. Kalau perlu, kita tinggalkan rumah kita, kita korbankan kendaraan kita untuk mendapatkan uang buat operasi.
Ada ahli desain interior. Dia berkunjung ke rumah kita. Lalu memberikan advisnya tentang tata ruang yang lebih membuat sirkulasi udara rumah kita menjadi lebih bagus, maka insya Allah kita akan mengubah tata letak rumah kita tersebut andai memang kita ada uang.
Atau malah jangan-jangan kepikiran terus untuk sesegera mungkin menjalankan advis sang desainer interior tersebut.
Terhadap saran manusia, terhadap nasihat manusia, kita bak… bik… buk… memikirkan dan mengikutinya. Mengapa terhadap nasihat Allah dan Rasul-Nya tidak kita ikuti? Apakah karena kita tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya? Atau jangan-jangan kita terjebak kepada kesungkanan atau makna keikhlasan yang barangkali perlu dikoreksi? Sehingga ibadah kita tidak bertenaga? Tidak memiliki spirit? Sebab bisa jadi bayang-bayang tidak boleh beribadah karena meminta sesuatu dari Allah; entah itu dunia-Nya, berharap solusi dari-Nya, menjadikan kita seperti setengah-setengah beribadah. Bukan karena penuh pengharapan kepada-Nya, atas janji-janji-Nya sendiri.
Macam gini, Allah menyebut bahwa jalan tahajjud akan membuat hidup seseorang berubah menjadi lebih baik lagi. Bila dilakukan terus-menerus akan membuat seseorang naik terus derajat dan kemuliaannya. Lalu, ada seseorang yang melakukan tahajjud sebab percaya akan firman-firman Allah dan hadits-hadits Rasul seputar tahajjud ini, dan kemudian menyandarkan harapan hanya pada-Nya -sekali lagi, hanya pada-Nya-, apakah ini salah?
Lebih utama mana dengan yang tidak mengerjakannya? Atau lebih utama mana dengan yang mengerjakannya tanpa berharap kepada-Nya? Apalagi kalau kita sepakat bahwa meminta kepada Allah pun merupakan ibadah tersendiri? Tahajjud ya ibadah... dan meminta (do’a) adalah juga ibadah. Maka bila seseorang melakukan tahajjud dan juga berdo’a kepada Allah, bukankah dia malah dapat dua keutamaan?
Terus lagi, Rasul misal pernah bilang juga begini, “Kalau mau dibantu Allah, bantulah sesama.” Lalu, seseorang yang menghendaki pertolongan Allah bergegas menyambut seruan ini untuk benar-benar berharap turunnya pertolongan Allah baginya. Apakah ini salah? Tega bener kalo salah mah.
Saudaraku, ayo! Beranilah meminta. Kalimat bahwa beribadah sama Allah, beribadah saja, jangan minta-minta sama Allah, harus ikhlas, ini menurut saya perlu dilakukan lagi penelitian mendalam. Kasihan orang yang butuh pertolongan Allah yang menempuh jalan ibadah dan jalan-jalan yang diseru-Nya.
Mohon do’a agar Allah memberikan bimbingan kebenaran dari-Nya. Dan juga mohon koreksi apabila ada pembaca yang lebih arif, lebih alim, dan lebih mengetahui tentang hal-hal apa yang saya tulis. Andai ada kebenaran, datangnya dari Allah. Apabila ada kesalahan, itulah saya, Yusuf Mansur, yang memang begitu banyak kekurangannya. Kepada Allah semua kita kembalikan. 
*** 

Ilmu akan Menjaga Amal 
Ilmu membawa kepada keyakinan. Keyakinan membawa kepada amal. Amal membawa kepada keberuntungan. 

Ada tiga keyakinan: ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin. Ilmul yaqin adalah keyakinan berdasarkan ilmu. Saya mengajarkan hikmah kepada diri saya, kepada keluarga saya, kepada jamaah saya, bahwa sedekah bisa begini dan sedekah bisa begitu. Lalu saya dan di antara yang diseru, bersedekah/melakukan sedekah. Inilah salah satu bentuk ilmul yaqin, keyakinan berdasarkan ilmu. Dengan ilmunya saya lalu terdorong kuat untuk beramal. Dari ilmul yaqin tersebut, kemudian ada satu dua yang merasakan manfaat sedekah. Inilah kiranya yang disebut ainul yaqin, keyakinan berdasarkan mata, berdasarkan pengalaman. Dan ada satu lagi, yaitu yang namanya haqqul yaqin. Bulat, enggak perlu pengalaman mesti berhasil, mesti manfaat. Yakin... ya yakin.
Melihat penjelasan awal di atas, nampaknya kehadiran ilmu, salah satu kepentingannya adalah supaya mendorong lahirnya amal. Malah dengan adanya ilmu, maka amal itu akan menjadi terus terpelihara.
Di buku THE MIRACLE ini, saya menyuguhkan banyak kisah yang menjadi pembelajaran tentang ilmu, keyakinan, amal shaleh, istiqamah, dan keberkahan. 
Kali ini disuguhkan kisah tentang seorang direksi sebuah perusahaan. Darinya kita bisa belajar bahwa dengan mengetahui fadhilah sesuatu, ia akan mendorong kita bukan saja untuk melakukannya, tapi juga untuk memeliharanya.
Suatu ketika dia merasa jenuh bekerja di dunia perhotelan, jauh sebelum dia menjadi seorang direktur. Dia memutuskan keputusan yang menurut orang gegabah, yaitu berhenti sebelum punya pekerjaan lain. Ternyata orang-orang di sekelilingnya, benar. Hingga sekian lama ia tidak kunjung memiliki pekerjaan. Sampai suatu saat ia mendengar bahwa shalat Dhuha 4 rakaat bisa membuka pintu rezeki. Bangunlah dia menegakkan shalat Dhuha ini, 4 rakaat, terdiri dari dua rakaat-dua rakaat. Ajaib! Tidak berapa lama pekerjaan dia dapatkan.
Tapi apa yang terjadi? Ilmunya tentang shalat Dhuha, pengetahuannya tentang shalat Dhuha, tidak mampu membuatnya mengistiqamahkan shalat Dhuha ini. Ia berhenti shalat Dhuha, dan berhenti pula ia dari pekerjaannya setelah ia menghentikan dhuhanya itu.
Dia kemudian shalat Dhuha lagi, 4 rakaat, dua-dua rakaat, atau dua salam. Kejadian berulang, ia mendapat pekerjaan lain. Tapi lagi-lagi shalat Dhuhanya berhenti. Anehnya, berhenti juga ia punya pekerjaan. Kejadian ini berulang beberapa kali hingga Allah memberikan hidayah buatnya untuk tetap menjaga shalat Dhuhanya.
Dalam satu kesempatan audiensi dengan saya, direktur ini mengakui bahwa suatu saat ia berpikir, “Jangan-jangan benar, bahwa wasilah shalat Dhuhanya, pintu rezeki berupa pekerjaan terbuka untuk saya. Dan ketika shalat Dhuha ini saya tinggalkan, tertutup lagi pintu rezeki yang terbuka itu.”
“Dari Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, ‘Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat di awal siang (dhuha), maka akan Aku cukupkan bagimu siangmu.” 
(Hadits qudsi diriwayatkan oleh at-Tirmidzi) 
***

Berasa; Bedanya Beramal dengan Ilmu dan tanpa Ilmu 

Mereka yang beramal dengan ilmu,
akan mendapat perbedaan beberapa derajat. 

Sempat dinaikkan di esai KuliahOnline, cerita tentang seorang pegawai yang makan siang usai shalat Jumat. Ketika dia lagi makan, datang kawannya menemani satu meja. Ia pun turut makan. Ketika mau bayar, dia ditahan oleh kawannya ini, “Biar aku saja yang bayar”, katanya. Jadilah ia dibayarkan makanannya itu. Hitung punya hitung, makanannya itu 10 ribu.
Apakah peristiwa itu peristiwa biasa?
Iya, kalau melihat dari kacamata tanpa ilmu. Kita anggap itu adalah peristiwa biasa, peristiwa sehari-hari. Tapi andai dia mengetahui sedikit saja tentang fadhilah amal, subhanallah, dia akan berdecak kagum. Bukan tidak mungkin, dia, bila terus meningkatkan ilmu dan kepahamannya, akan meningkatkan juga amalnya.
Memangnya ada apa?
Rupanya ketika shalat Jumat, dia bersedekah seribu rupiah.
Loh, hubungannya apa dengan makan siangnya?
Ada! Bukankah Allah menjanjikan balasan 10 kali lipat? Dan di beberapa hadits kita menemukan bahwa Allah berkehendak juga membayar sedekah seseorang dengan tunai, ajjaltu lahu fil ‘aajil. Dibayar kontan. Nah, itulah bayaran kontannya. Cuma, kalo enggak tahu, dianggapnya itu peristiwa biasa saja. Bukan hadiah dari Allah sebab amalnya.
Menarik enggak?
Tergantung. Kalau saya yang jadi dia, harusnya ini menjadi “brosur yang tidak terlihat” untuk percaya lebih lagi akan janji-Nya dan memperbaiki amal.
Andai ya, andai… orang ini ternyata membawa 100 ribu, alias ada pecahan 100 ribu, selain pecahan seribu, maka ketika “new experiental learning” didapat dan disadari, tentu ia akan “menyesal” dan “berjanji” akan memperbaiki serta mengubah kualitas amalnya. Saya memberi tanda kutip, sebab kebanyakan memang manusia cuma bisa berjanji, he…he…he… tidak mempraktekkan langsung. Harusnya’kan praktekkan saja langsung. Ya, mestinya langsung dong dia sedekah 100 ribu.
Tapi sayang, kebanyakan orang tidak berilmu. Sekalinya ada yang berilmu, tidak berani menyandarkan ilmunya ini menjadi sebuah keyakinan, bahwa peristiwa itu terjadi pastilah ada hubungannya dengan sedekah di saat shalat Jumat.
Tampaklah di sini bedanya antara orang yang beramal dengan ilmu dan tanpa ilmu. Saya insya Allah meyakini, mengapa pula beda derajatnya, sebab memang amalannya beda.
Seseorang yang berilmu, akan beramal dengan ilmunya itu. Sehingga ada keyakinan dan harapan. Bukankah keyakinan dan harapan juga adalah sebuah kelezatan ibadah tersendiri?
Di dalam kehidupan nyata, katakanlah kita bekerja, maka akan terasa beda’kan, andai, kita tahu hasilnya? Ketika kita tahu bahwa pekerjaan kita akan menguntungkan, kita bersemangat. Dan bukanlah kesalahan memotivasi diri dengan hal-hal yang halal yang menjadi hak kita. Membuat kita lebih bersemangat dan berkreasi.
Mengetahui fadhilah/keutamaan ibadah juga merupakan suatu ilmu. Mengetahuinya saja sudah merupakan ibadah. Dan mencari ilmu juga suatu ibadah. Lekas ia akan berpengaruh buat langkah dan hasil langkah kita. 
”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujaadilah: 11) 
*** 

Karena Ilmu dan Keyakinan 

Ada seseorang yang butuh kejadian sesuatu, yang kemudian mengantarkannya kepada Allah. Ada juga yang cukup dengan ilmu dan keyakinan yang mendorongnya beribadah, tunduk dan patuh kepada Allah. Dua-duanya istimewa. Yang salah adalah yang tidak bergeming, tidak beribadah; baik dengan ilmunya, maupun pengalamannya. 

Berikutnya, kisah seorang yang melakukan ibadah, sebab didahului oleh ilmu dan keyakinan.
Adalah Iwan, sebut begitu, seorang karyawan di sebuah perusahaan otomotif. Ia mendengar kuliah dhuha pagi itu di kantornya, bahwa shalat Dhuha 6 rakaat punya fadhilah, “Allah akan mencukupkan rezekinya.” 
Saya yang menjadi guru tetap di pengajian bulanan tersebut bertutur kira-kira begini, “Kalo kita percaya sama Allah, kita kudu percaya akan petunjuk-Nya. Salah satunya ketika Allah dan Rasul-Nya bicara tentang petunjuk bagaimana mencari rezeki. Dalam banyak bab “Mencari Rezeki”, salah satu yang dijadikan jalan pembuka pintu rezeki adalah shalat Dhuha.
Allah bilang lewat Rasul-Nya dalam sebuah hadits qudsi, “Dari Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, ‘Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat di awal siang (dhuha), maka akan Aku cukupkan bagimu siangmu.” 
(Hadits qudsi diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)
Begitulah saya memotivasi para mustami’ (pendengar majelisnya) agar mereka mau berkenan shalat Dhuha.
Saya yang menyodorkan janji Allah dan Rasul-Nya sebagai dorongan beribadah mengatakan, bahwa tidak usah takut mengerjakan shalat Dhuha lantaran janji dan dorongan Allah dan Rasul-Nya ini. Inilah yang disebut KEUTAMAAN. Bukankah orang yang percaya sama Allah dan Rasul-Nya disebut orang yang beriman? Sedangkan iman itu apa sih? Iman itu’kan percaya. Maka ketika Allah dan Rasul-Nya menyeru dengan memberi dorongan sejumlah keutamaannya, maka inilah kiranya kebaikan Allah dan Rasul-Nya dan kebaikan seseorang yang beriman yang percaya sama kalam Allah dan Rasul-Nya.
Berkaitan dengan shalat Dhuha, di dalam majelis di kantor tersebut, saya kemudian mengatakan ini, “Ketika seseorang shalat Dhuha 6 rakaat, Allah punya kalam lain, 
“Siapa yang shalat Dhuha 6 rakaat, Allah akan mencukupkan kebutuhannya hari itu.” 
Selanjutnya saya memotivasi, “Jika di antara saudara yang hadir di sini percaya, lalu punya kebutuhan, punya hajat, dan dia berkenan shalat Dhuha 6 rakaat, percayalah insya Allah janji Allah ini benar-benar akan terwujud.” 
Alhamdulillah. Di antara jamaah yang hadir, ya Iwan itu.
Iwan mendengar perkataan saya, “Kejar target, kejar kebutuhan yang diperlukan dengan mendirikan shalat Dhuha 6 rakaat. Sisihkan waktu. Daripada cape enggak karuan, mending ngorbanin waktu sedikit untuk mengundang janji Allah terbukti di masalah dan hajat kita.”
Rupanya termotivasi betul Iwan mendengar hal demikian. Tidak sabar ia menunggu waktu pulang. Waktu itu hari Jum’at. Pengajian saya di sana, saban hari Jum’at pagi keempat tiap bulannya. Ia pengen cepat-cepat pulang. Pengen mengabarkan kepada istrinya ini.
Pengajian tadi seakan menjadi solusi baginya, yaitu bagi bayangan kesulitan yang sedang ada di depan matanya.
Memangnya apa kesulitannya Iwan ini?
2 bulan lagi ia punya kebutuhan 7,5 juta untuk biaya studi 3 anaknya. Sebagai karyawan biasa, angka ini besar sekali buat dia. Apalagi dia punya satu dua cicilan utang. Tapi ia tadi pagi mendengar saya berkata, “Dulu, sebelum tahu ilmu dhuha ini, seseorang begitu punya kesulitan, sudah berancang-ancang mencari bantuan dan pertolongan orang lain. Sekarang, enggak usah. Cari saja pertolongan lewat sisi Allah ini. Nanti Allah yang menyediakan jalan-jalanNya.”
Iwan mengamini. Memang begitu. Ia dulu bukan saja sekadar berancang-ancang mencari bantuan. Tapi ia bahkan sudah berjalan mencari bantuan itu! Ke sana kemari.
Ketemu enggak?
Enggak!
Makanya, ketika dapat pencerahan pagi itu, ia bahagia sekali. Ia tahu kesalahannya kini.
Ia cari bantuan orang lain tapi tidak mencari Allah, Pemilik segala bantuan yang diinginkan.
Ia tahu kesalahannya. Langkah ia tetapkan untuk mencapai dan mengejar apa yang menjadi kebutuhannya. Tapi karena ia mencari tanpa ilmu, tanpa pengetahuan bahwa ada cara mudah dan cepat, yaitu menyandarkan pada kekuatan Allah, ia punya langkah tak jelas. Kini, dengan shalat Dhuha ia percaya langkahnya ini menjadi jelas. Sebab jelas juga yang ia tuju; ridha dan pertolongan Allah melalui shalat Dhuha. 
”Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nyakerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. az-Zumar: 44) 
Subhanallah! Mudah-mudahan kita berkeyakinan seperti yakinnya Iwan ini.
Sesampainya di rumah, bertuturlah Iwan kepada istrinya sebagaimana saya bertutur untuk dirinya. Iwan lalu meminta istrinya itu menemaninya shalat Dhuha. Ia shalat di kantor di sela-sela kesibukannya. Istrinya shalat di rumah. Dhuha yang diambilnya 6 rakaat, dengan keyakinan bahwa inilah cara yang benar yang insya Allah menjadi jalannya menutup 7,5 juta.
Saudaraku, kita coba berhenti sejenak. 
Sampe sini, banyak orang yang menyalahkan dengan mengeluarkan ungkapan, “Shalat Dhuha kok untuk uang…? Untuk kebutuhan...?”
Begitu’kan?
Banyak yang menyalahkan pencari pertolongan Allah lewat ibadah.
Tapi terserahlah. Masing-masing punya pendapat. Yang penting, jika saudara hanya berdebat, maka kebesaran Allah tidak akan terjadi. Silahkan sibuk saja terus berdebat. Tidak usah melakukan.
Akan halnya Iwan, karena ia melakukannya dengan segenap keyakinan atas informasi (ilmu) yang didapatnya, maka ilmu dan keyakinannya, bekerja! Keajaiban pertolongan Allah benar-benar terjadi!

Hanya selang dua minggu ia melakukan, jawaban untuk dana yang ia butuhkan ia dapati.
Ya, hanya 2 minggu! Unbelieveable! 
Iwan lapor kepada saya di pengajian Jum’at berikutnya, alias di empat pekannya kemudian. Bahwa ia tidak berhenti sampe di situ. Ia terus meminta istrinya meneruskan riyadhah lewat shalat Dhuha ini untuk masalahnya yang lain, di luar masalah yang 7,5 juta untuk anggaran pendidikan anak-anaknya.
Hebat!
Saya mengatakan hebat.
Banyak orang yang tidak percaya, Iwan percaya.
Ketika seseorang melakukan apa yang diseru Allah dan Rasul-Nya, lalu tatkala Allah membuktikan kebenaran janji-Nya, orang tersebut berhenti sampai di situ, alias tidak meneruskan lagi menjadi sebuah pekerjaan yang di-dawam-kan. Sedangkan Iwan? Dia malah meneruskan.
Hebat! Ya hebat.
Memang apa masalahnya Iwan yang lain? Ada lagi?
Namanya juga manusia. Kalau mau jujur, masalahnya pasti banyak.
Rupanya Iwan punya utang 50 juta. Ia lumayan pening dengan urusan ini. Otaknya enggak aja memikirkan yang 50 juta ini. Sebab sebelumnya, yang 7,5 juta enggak tahu bagaimana ngurusinnya. Karenanya ketika ia berdecak kagum akan dhuha ini, untuk urusan 7,5 jutanya, ia meneruskan dhuhanya tersebut untuk urusan 50 jutanya. Ia yakin, kali ini pun ia pasti berhasil. Caranya sama, Tuhannya sama, masa iya enggak berhasil.
Di depan jamaah lain yang mendengar testimoni Iwan, lagi-lagi saya mengatakan hebat.
“Seseorang yang melakukan tanpa ilmu dan tanpa keyakinan saja, insya Allah ia akan tetap merasakan fadhilah (keuntungan) amal, apalagi yang melakukannya sebab ilmu, sebab yakin, dan sebab pengalaman. Pasti bertambah subhanallah dah,” tutur saya menimpali.
Itulah yang memang terjadi. Iwan bercerita, bahwa 50 juta itu ia dapatkan sebelum genap ia ketemu Jum’at yang keempat. Alias ia mendapatkan jawaban atas kebutuhannya itu, juga dalam waktu kurang 2 minggu! Jarak tempuh pencapaian target hanya 2 minggu sejak ia tetapkan dirinya untuk menempuh jalan shalat Dhuha 6 rakaat.
Untuk yang satu ini, saya memiliki komentar yang menarik. Kata saya, percepatan itu terjadi sebab Iwan mengerjakannya tidak sendirian, melainkan bersama-sama istrinya. Ibarat memakai kaki untuk berjalan, Iwan memakai kaki yang lengkap, kiri dan kanan. Jelas lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang berjalan dengan satu kaki. “Jadi, buat saudara yang kepengen mencapai target kebutuhan rumah tangga dan usahanya, jangan lakukan sendirian.
Jalankan bersama-sama istri atau suami masing-masing. Kalau perlu, bersama-sama satu tim, satu divisi, satu kelompok, bersama karyawan, dan seterusnya. Pokoknya jangan sendirian.”
“Buat yang hidupnya memang sendirian gimana Ustadz?” tanya salah satu jamaah.
“Pikirkan saja cara-cara yang ia bisa melakukannya bersama yang lain. Misalnya, menjamu kawan kosnya yang beda tempat, sarapan bersama. Lalu utarakan tentang fadhilah dhuha 6 rakaat, dan kemudian lakukan bersama-sama. Atau undang anak-anak yatim sekitar yang sekolahnya siang. Jamu mereka, dan lakukan shalat Dhuha bersama. Insya Allah larinya bakal cepat.”
Tidak lupa saya mengingatkan walau bersama-sama, tapi tetap dengan niat “sendiri sendiri”, bukan berjamaah. 
Nah, di akhir cerita, Iwan mengaku, “Insya Allah Ustadz, saya akan tetap menjaga niat, untuk melakukan dhuha bukan karena masalah dan keinginan, tapi karena Allah semata.”
Terhadap kalimat yang kayak begini, Luqman mengoreksi, “Jangan berkurang keyakinan Wan. Yakini apa yang sudah terjadi sebagai sebuah kebenaran. Banyak orang yang tidak tahu, Iwan tahu. Banyak orang yang tidak yakin, Iwan yakin. Banyak orang yang gelap bagaimana menyelesaikan masalahnya, bagaimana menjawab keinginannya, Iwan mengetahui kunci-kuncinya. Masa’kan lalu Iwan membungkusnya dengan kalimat “yang benar” tapi “tidak tepat” seperti itu. Tidak Wan. Tidak ada yang salah dengan yang Iwan lakukan sehingga Iwan perlu mengatakan bahwa Iwan akan menjaga niat untuk melakukan hanya karena Allah. Tidak perlu! Itulah kepercayaan orang yang beriman. Kepercayaannya bekerja. Bekerja menjadi keajaiban. Satu yang Iwan perlu lakukan adalah tambah rasa syukurnya dengan tetap melakukan ibadah dhuha 6 rakaat tersebut tanpa perlu ada masalah dan keinginan. Sedangkan bila Iwan ada lagi masalah dan keinginan, maka itulah yang disebut iman, yaitu Iwan membawanya lagi kepada Allah dengan cara melakukan petunjuk-Nya.”
Saudaraku, tulisan bagian ini ditulis dan dimasukkan ke dalam buku “THE MIRACLE”.
Di mana di buku ini dikupas secara mendalam filosofi amal perbuatan yang dilakukan dengan berdasarkan ilmu, keyakinan, dan pengalaman, hingga kemudian diistiqamahkan atau didawam- kan. Maka ketika saudara tidak menghentikan riyadhah saudara, maka percayalah, keajaiban akan terus menerus terjadi! Insya Allah. 
Percaya dengan janji dan kalam Allah dan Rasul-Nya, inilah yang disebut iman yang sempurna. Tambah sempurna dengan menyempurnakan iman menjadi berwujud amal shaleh.?
*** 

Banyak yang Tidak Menyadari 

Meniti jalan-jalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, itulah jalan-jalan ikhtiar yang terbaik. Apalagi kalau kemudian bisa lurus dan istiqamah. Dunia akan dibukakan Allah buat mereka yang mengabdi kepada Allah. Sebab dunia adalah milik-Nya. Dan Dia akan menguasakan lagi kepada siapa yang Dia kehendaki. 

Banyak orang yang tidak menyadari, sebab ilmunya yang barangkali kurang, bahwa meniti jalan-jalan menuju Allah, itulah jalan ikhtiar terbaik. Tidak dekat dengan Allah saja diberi-Nya dunia, apalagi dekat dengan Allah dan mencari jalan-jalan untuk dekat dengan-Nya. Pasti dunia tambah lagi diberi oleh Allah. Tapi karena kurangnya ilmu, maka ketika jalan sudah dibukakan Allah, malah Allah lebih sering ditinggal. Atau kalaupun tidak ditinggal, maka terhadap Allah kita sering juga mengurangi jatah perhatian dan waktu untuk-Nya. Astaghfirullah, saya pribadi pun beristighfar karenanya. Apalagi dengan keangkuhannya manusia, banyak yang tidak mengakui agama sebagai solusi hidupnya. Banyak yang tidak mengakui ibadah sebagai solusi ikhtiarnya, bukan sekadar pelengkap.
Pernah diceritakan kepada saya, ada perusahaan penyedia jasa ruangan-ruangan untuk disewakan. Pada satu masa, keuangannya menurun. Penyewanya sedikit sekali. Ditenggarai, begitu menurut mereka, sebab berdiri kompetitor tidak jauh dari lokasi gedung mereka.
Hingga kemudian karyawannya membuat pengajian.
Dipanggilnyalah seorang ulama. Pengajian diadakan pagi menjelang zhuhur. Saat zhuhur tiba, ulama tersebut yang memang masih di sana saat itu, bertanya di mana di ruang apa kalau mau shalat? Karyawan-karyawan yang ditanya, gelagapan. Sebab memang gedung ini tidak menyediakan ruang khusus untuk memuliakan orang-orang yang shalat.
“Selama ini di mana shalatnya?” tanya ulama tersebut.
“Di parkiran bawah,” jawab karyawan.
Ulama ini ngambek. “Wah, mana bisa maju kalau begini? Gedung ini memang siapa yang ngasih? Kan Allah. Walaupun kelihatannya yang bangun adalah manusia. Masa terhadap Allah yang sudah memberikan gedung ini; baik uang, kesehatan, dan kesempatan, untuk memakai dan menikmati gedung ini, eh... malah dipinggirkan?”
Ulama ini pulang.
Tertinggallah karyawan terbengong-bengong. Tapi mereka mengamini. Mulailah mereka melakukan sesuatu. Mereka bersama-sama menghadap kepada direksi dan menjelaskan peristiwa ini. Alhamdulillah, direksi setuju. Lalu ada ruangan “yang dikorbankan” untuk menjadi tempat shalat. Maka mulialah orang-orang yang shalat sebab ruangan shalatnya menjadi layak dan nyaman.
Sejak itu, karyawan gedung tersebut banyak yang merasakan bahwa tingkat penyewa kembali meninggi.
Tapi apa yang terjadi? Di pers release-nya direksi dan manajemen, menjelang RUPS, sama sekali tidak disinggung keberhasilan ini adalah sebab memperhatikan urusan mushalla.
Kelihatannya sepele; menyediakan orang-orang yang shalat tempat yang layak. Tapi yang sepele ini justru yang diyakini sebagai pembawa kemakmuran dan kejayaan kembali bagi tuh gedung dan manajemennya. Sayang, kita itu ya begitu. Kurang mengakui, atau mungkin kurang berani mengakui bahwa sisi spiritual itu yang menjadikan dunia ada di genggaman.
Dipikirnya, urusan spiritual urusan akhirat yang hanya berdimensi akhirat saja.
Saya mendapat cerita ini, bahwa yang diagung-agungkan sebagai suatu keberhasilan oleh mereka adalah bahwa manajemen atas melakukan perubahan manajemen. Banyak tenaga tenaga ahli muda yang berpendidikan serta berpengalaman, masuk, ikut mengendalikan dan memajukan gedung. Karena itulah gedung ini terang kembali. Sebab lainnya, begitu kata pers release-nya, adalah komitmen direksi dan share holders yang begitu tinggi terhadap penampilan dan perbaikan fisik. Lalu mereka menyebut keberadaan taman depan yang baru, ditambah dengan jaket gedung yang memang juga baru yang menambah terang gedung tersebut.
Sama sekali tidak menyebut dengan gagah, “Bahwa kemajuan ini adalah sebab kami menyediakan tempat shalat yang sangat layak dan nyaman, padahal sebelumnya kami menempatkan mushalla di lantai parkiran yang pengap.” Tidak ada tuh... tidak disebut. Saya ketika menerima kisah ini sebagai satu pembelajaran, sempat sedikit menghibur, “Barangkali mereka tidak mau pamer... nanti disangka riya.”
Yah, barangkali juga.
Tapi, sekarang kalau memang begitu, indikatornya gampang. Di antaranya:
• Apakah perbaikan sarana dan prasarana ibadah menjadi semakin baik?
• Apakah ada penambahan tenaga khusus untuk mengelola aset yang disebut sangat berharga itu (kalau memang diaku, tapi tidak mau diekspos sebab takut riya)?
• Apakah ada penambahan kegiatan keagamaan (kegiatan ibadah)?
Yang barangkali lebih menohok lagi, apakah ruangan itu masih dipakai untuk ruangan shalat? 
Kelihatannya sinis ya pertanyaannya, tapi wajar ditanyakan. Sebab maaf, banyak yang kemudian terjadi begini; sebab laku, kemudian direksi dan manajemen merasa saying mengorbankan ruangan itu dan mengembalikan ke posisi semula. Masih bagus kalau kemudian tempat yang disebut mushalla di parkiran itu diperbaiki, bagaimana kalau tetap seadanya, atau dengan perbaikan yang setengah hati?
Bila memang itu yang terjadi, maka sebenarnya sama saja tidak ada pengakuan.
Jujur saja, kita pun suka demikian kok. Sebelum kaya, masya Allah, rajinnya itu yang namanya shalat-shalat sunnah. Artinya, jangankan yang wajib, yang sunnah pun dikerjakan habis-habisan. Giliran sukses, giliran kaya, kita mengorbankan ibadah. Itu’kan menjadi terbalik. Alias jangankan yang sunnah, yang wajib pun keteteran.
Ini’kan sama saja dengan kalimat, “Apakah manajemen gedung itu kemudian mengorbankan ruangan yang sudah membawa mereka kepada kejayaan, ataukah malah memperluas dan menambah nyaman ruangan tersebut?”
Inilah di antara sebab orang kemudian berkata, “Makanya jangan shalat karena masalah atau hajat. Sebab nanti shalatnya kendor setelah masalah dan hajat tercapai.”
Padahal, jika seseorang “menghentikan” shalatnya atau “mengendorkan” shalatnya, maka sebutannya adalah “kufur nikmat”. Jangan kemudian menyalahkan niat.
Ini pula yang mengakibatkan seseorang barangkali mengatakan “kudu ikhlas dalam sedekah (ibadah)”. Sebab dikhawatirkan sedekahnya takutnya hanya untuk tujuan-tujuan dunia. Padahal, sekali lagi, sedekah untuk tujuan-tujuan dunia adalah dibenarkan. Karena menjadi cara yang ditunjukkan Allah. Sedang sesuatu yang ditunjukkan Allah pun, itu ada keridhaan-Nya di dalamnya. 
Wallahu a'lam. 


Ustadz Yusuf Mansur

April 9, 2015

Guide To Sharia Investment

“Tidak semua orang tahan membangun bisnis, tapi semua orang bisa berinvestasi.”

Mungkin memang tidak semua orang memiliki kemauan untuk memulai bisnis, namun memang masih banyak cara berinvestasi untuk mendapatkan pendapatan pasif (passive income) tanpa harus berbisnis.
Saya jadi ingat dulu guru saya pernah cerita bahwa beliau didatangi oleh seorang karyawan perusahaan perminyakan global yang gajinya mencapai US $8.000 per bulannya. Sang karyawan perminyakan, sebut saja Budi, bertanya kepada guru saya: Bisnis apa yang cocok ia jalankan?
Budi ingin memulai bisnis karena ingin dekat dengan keluarga. Walaupun Ia sangat mencintai pekerjaannya, Ia sudah lelah menghabiskan waktu berbulan-bulan ditengah laut, dan tidak ingin melewati lagi perkembangan anak-anaknya dirumah karena dari lahir Ia jarang sekali bertemu. Karenanya ia ingin memulai bisnis setelah keluar dari perusahaan tempatnya bekerja.
Di sisi lain, Budi yang sudah berpengalaman belasan tahun di dunia perminyakan saat ini banyak sekali menerima penawaran pekerjaan dengan posisi yang bagus namun bekerja di kantor. Ia lalu bimbang apakah memulai bisnis yang asing untuknya, atau tetap menjalankan pekerjaan yang Ia cintai di perusahaan lain.
Guru saya lalu mengatakan: Kenapa harus mulai bisnis? Kan Duit-mu bisa di invest saja. Kamu tetap akan mendapatkan passive income sambil menjalankan pekerjaan yang kamu cintai.
Kutipan di awal email ini saya ambil dari eBook:

Guide To Sharia Investment

eBook setebal 120 halaman ini akan mengajarkan Anda bagaimana berinvestasi sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Hadits. eBook ini cocok untuk Anda yang bahkan belum pernah berinvestasi sekalipun, karena:
  • Mudah Dicerna karena berisi contoh tentang investasi syariah yang memiliki potensi keuntungan.
  • Menggunakan bahasa yang umum sehingga siapapun dengan latar belakang apapun bisa memahami isi ebook ini.
  • Dilengkapi dalil dari Hadits dan Al-Quran sebagai dasar teori dalam ebook ini.
Saya percaya tidak ada yang namanya terlalu cepat untuk investasi, saya dari dulu percaya bahwa investasi itu dimulai dengan apapun yang kita punya saat ini.

Untuk men-download eBook ini dan belajar bagaimana investasi sesuai syariah, klik disini >> http://yuk.bi/t1776a

 

March 7, 2015

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 20 - Pentingkah Dunia?

Pentingkah Dunia?

Banyak sekali perumpamaan tentang dunia di dalam al Qur’an. Hebatnya, sangat fair Allah mengajarkan kita tentang dunia-Nya. Ga apa-apa kita mencari dunia, asal kita ga melupakan Allah. Sayang, kebanyakan manusia tidak punya tauhid yang bagus. Pas ga ada dunia di kakinya, dia nangisnangis minta sama Allah. Begitu ada, Allah dilupakan. Ada yang lurus-lurus saja ketika ga megang harta. Begitu punya harta, berubah. Berubah sombong, berubah lalai, berubah “nafsi-nafsi”/hidup sendiri-sendiri, dan kelewat sibuk sampe lupa sama Allah ‘azza wa jalla.

Sementara itu, tidak sedikit juga yang kemudian tetap selamet dan menjadikan “memiliki” dunia sebagai keutamaan yang menambah iman dan kesalehan. Tentu saja kita kepengen seperti yang disebut terakhir ini. Punya dunia, tetap saleh. Malah bertambah saleh. Punya dunia, bertambah tawadhu’. Punya dunia, tapi bertambah-tambah kebaikannya. Punya dunia, bertambah-tambah takutnya sama Allah. Entahlah, saya yang muda ini masih menganggap, jadilah orang-orang yang terdepan dalam dunia dan akhirat, ga boleh timpang salah satunya. Namun segitunya saya berprinsip ini, saya pun mengamini agar diri kita siap saja dulu. Daripada kemudian berubah menjadi liar setelah memegang dunia.

Ok, mudah-mudahan selingan esai-esai di 2 kuliah kemaren, sudah cukup menjawab beberapa pertanyaan yang dialamatkan ke saya. Berikut ini kita lanjutkan esai-esai yang masih berkelanjutan dengan soal-soal tauhid yang dilekatkan/dikaitkan dengan shalat. Bagi saya, ini juga persiapan memegang dunia tapi mengendalikannya, bukan dikendalikan dunia. Betapapun, menjadi muslim
yang kuat, yang berhasil, yang banyak manfaatnya, lebih disukai Allah ketimbang muslim yang kemudian menjadi beban bagi orang lain dan minim manfaat gara-gara ketidakberdayaan SDM dan ekonominya.
***

Tidak Sadar


(+) Tambah sibuk ya…?
(-) Alhamdulillah… Begitulah.
(+) Sudah berapa cabang sekarang ini…?
(-) Baru empat cabang. Saya jadi lumayan sibuk muter antar-cabang.
(+) Wah, subhaanallaah ya.
(-) Iya, subhaanallaah… Alhamdulillah.

***
Peserta KuliahOnline, sepintas tidak ada masalah ya dengan dialog di atas. Malah kayaknya dialog di atas terjadi di antara dua sahabat di mana salah satunya adalah pengusaha soleh yang sukses. Tidak nampak di antaranya ada penyakit. Setidaknya dilihat dari jawaban-jawabannya yang banyak mengucapkan puji-pujian kepada Allah; Subhaanallah dan alhamdulillaah.


Benarkah demikian? Belum tentu. Saya sering memancing dengan kalimat pertanyaan tersebut ke kawan-kawan. Kemudian, setelah dapat jawabannya, saya ajukan lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya, yang kemudian kami sama-sama merenung jadinya.


(+) Shalatnya bagaimana…? (Kebetulan saya yang nanya, jadi orang kebanyakan ga tersinggung. Apalagi dengan posisi saya yang katanya “ustadz”. Maka pertanyaan itu adalah pertanyaan yang dianggap wajar oleh kebanyakan orang. Maka jawaban yang jujur yang didapat dari dia, kelak yang akan membuka tabir apakah sesungguhnya yang sedang terjadi. Benarkah kemajuannya itu nikmat, ataukah justru azab?)
(-) Alhamdulillah, shalat mah walau telat, saya ga tinggal.
(+) Barusan shalat jam berapa?
(-) Zuhur?
(+) Ya. Zuhur.
(-) Oh, zuhur malah saya berjamaah. Sama beberapa peserta rapat. Kebetulan hari ini ada meeting markom. (lihat, dia ini “tetap berjamaah”, sama peserta rapat. “Hanya”, berjamaahnya ini kita lihat jam berapa? Sehingga buat saya, ini menjadi berjamaah shalat tidak tepat waktu).
(+) Jam berapa?
(-) Jam 1-an. Habis makan siang.
(+) Ooohhh…
(-) Kenapa emangnya…?
(+) Sering begini…?
(-) Maksudnya…?
(+) Shalat itu kan lebih baik di awal waktu. Nah, kondisi shalat di jam-jam 1-an itu sering?
(-) Iyalah Ustadz. Kan suasana Jakarta juga subhaanallaah. Macetnya kan ustadz tahu sendiri. Kayak apa macetnya, iya kan? Kadang saya perpindahan meeting ke meeting, susah juga untuk shalat tepat waktu. Yang penting kan shalatnya ya ustadz.
(+) Iya. Tapi shalat tepat waktu juga, penting. Terus, keluarga gimana?
(-) Alhamdulillah, baik-baik saja.
(+) Tiap hari pulang jam berapa?
(-) Normal aja, Ustadz. Jam-jam 10-an saya udah di rumah. Yah, kayak yang lain dah.
(+) Sabtu Minggu, jalan-jalan sama anak2?
(-) Sesekali Ustadz.
(+) Koq sesekali?
(-) iyalah Ustadz. Kan masing-masing juga punya jadual kesibukan masing-masing. Istri saya sekarang punya usaha. Anak-anak pun ada jadual sekolah lah, jadual klub lah, jadual ini itu. Saya sendiri pun kadang supervisi ke cabang-cabang saya lakukan dalam sabtu minggu. Tapi alhamdulillah, kami baik-baik saja Ustadz.


Pembaca yang dirahmati Allah. Sebenernya ini udah tanda-tanda. Tapi sampe di sini, banyak yang merasa fine-fine aja. Merasa baik-baik saja.

Benarkah baik-baik saja?


Ya, terusin saja bacanya. Terusin saja ngikuti esai KuliahOnline ini.

***

Punya Istri kayak Engga Punya Istri
Punya Suami Kayak Engga Punya Suami

 
Kesibukan manusia mencari, mengumpulkan dan mempertahankan dunia, sudah merenggut banyak hal yang dia punya. Ini fakta. (Masih untung kalo tetap beribadah, meskipun kualitas ibadahnya harus dipertanyakan dengan jawaban kejujuran. Kayak esai di atas, seakan-akan tidak masalah dengan berjamaah di jam 1. Tapi bagi saya, itu adalah – sekali lagi – sama-sama berjamaah tidak tepat waktunya. Seperti bekerjasama dengan meniatkan/menyengaja shalat tidak waktu).


Dalam hubungan suami istri, banyak para istri yang sedikit sekali merasakan sentuhan hangat suaminya seperti awal pernikahan. Sebab suaminya entah ada di mana. Hanya ada laporan sms demi sms saja. Atau sekedar ber-3G ria, tanpa tahu dengan pasti ada di mana, dan sedang apa. Lama-lama, berkomunikasi dengan cara ini pun menjadi sebuah rutinitas yang disebeli sebenernya, namun menjadi sebuah ritual yang tetap harus dijalankan. Akibatnya? Hambar.

Tidak sedikit, para suami kemudian memberikan kesempatan pada istrinya untuk mengambil kesibukan lain, supaya jangan selalu menunggu dia. Misalnya, dengan menyuruh berorganisasi, aktif di pengajian-pengajian, belanja dari mall- ke mall. Sampe kemudian buka usaha sendiri. Ujungujungnya, komunikasi makin jauh. Satu ke Barat, satu ke Timur. Perjalanannya kemudian tidak jarang berakhir di perceraian. Atau pun kalau tidak, ya perselingkuhan.


Ya, coba saja dirasakan. Seberapa sering sekarang kita menyisir rambut kita punya istri? Memijit pundaknya ketika dia kelelahan memasak untuk kita? Seberapa sering kita kemudian membelai dia punya rambut, merasakan aroma wangi rambutnya yang habis keramas untuk kita? Betapa hebatnya kita merasakan dulu manisnya bicara berdua sambil ngopi, nge-teh? Sekarang? Frekuensinya? Makan di rumah, sudah jarang. Sarapan, di kantor masing-masing. Atau bahkan di jalan. Wuih, segitu hebatnya kah kita mengumpulkan uang? Kalopun kita kumpulkan, seberapa banyak yang kita bakal makan dan nikmati?


Tanya para istri, mereka tidak lagi semangat mandi dan pakai wewangian. Sebab mereka pikir, buat siapa lagi mereka bersih, wangi dan segar? Wong suami yang dicintai tidak ada di sisinya.
 

Kita, para suami, butuh dihidangkan kopi atau teh bikinan istri sendiri. Beda. Kita, para suami, adalah manusia-manusia yang sejatinya sangat suka memasak masakan istri kita. Keaseman, keasinan, kemanisan, atau rasa yang tawar karena justru lupa dikasih garem, pun menjadi satu peristiwa yang malah menambah kehangatan dan jadi candaan hidup yang dinikmati. Masya Allah.

Ketika kita lelah, ada tangan-tangan manis yang memegang kepala kita, pundak kita, menyentuh lembut kaki kita, dengan kasih sayangnya. Sekarang? Bagaimana? Kita bakal menemukan itu, kalau kita pejamkan mata kita. Seakan tidak akan terjadi jika di kehidupan nyata.
 

Bahkan saudara-saudaraku, jika para istri, menemukan apa yang diinginkannya di laki-laki yang bukan suaminya, dan jika para suami menemukan hal-hal tersebut di diri perempuan yang bukan istrinya, maka terjadilah hal yang tidak diinginkan. Bahkan oleh mereka berdua.

Ketika lelah rapat di luar kota, ketika menginginkan pijatan lelah, ternyata pintu kamar kita ada yang mengetuk. Lalu berdirilah di hadapan kita seorang perempuan berseragam hotel menawarkan welcome message. Free, katanya. Untuk 10 menit pertama. Selanjutnya, ada tarifnya. Tidak sanggup kemudian saya meneruskan tulisan ini.
 

Para istri pun demikian. Mereka adalah makhluk-makhluk Allah yang teramat berdosa jika kita tidak perhatikan kebutuhan biologisnya. Betapapun mereka sanggup mengatasinya, tapi jika ada pemicunya? Apa yang akan terjadi? Sebut saja suaminya kemudian pulang selalu larut malam, dan jalan lagi sepagi mungkin. Apa yang ia dapat sebagai seorang istri yang butuh suaminya? Datanglah sms menanyakan khabar, yang datang dari seseorang yang pernah sangat ia kenal. Lalu ia jawab. Lelaki itu kemudian memberikan perhatiannya. Dari sekedar nanya sudah makan belum, sudah minum belum, yang istri itu tahu bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang muncul dari perhatian karena ingin mencuri perhatian. Sedang ia tahu, pertanyaan itu pun lakinya kirimkan, namun sebatas jangan sampai dianggap tidak meng-sms! Akhirnya ya begitu dah.
 

Sedemikian gawatnya kah?

Ya, coba aja dipikir sendiri, dan pasang telinga buka mata, banyak kejadian begini di sekitar kita. Lalu masa kan terjadi sama kita?
 

Jika demikian, kita hidup untuk siapa dan untuk apa?
 

Ini semua, akan diambil oleh dunia. Sebab dunia itu jahat.
 

Berarti saya menyuruh tidak doyan dunia ya? Loh, jangan salah. Kalau kita bisa memburu dunia, ya kejar. Buru, dan dapatkan. Tapi semua itu akan terjadi, gara-gara perkaranya sepele: Shalat kita engga beres.
 

Ada yang bertanya, bagaimana bisa berpengaruh antara shalat dengan kejadian itu? Ya, saya masih bilang, “Teruskan saja dulu bacanya ini tulisan, he he he. Terusin terus ngikut KuliahOnline nya. Sabar”. Maaf ya.
***

Punya Anak
Seperti Tidak Punya Anak


Yang paling merana sebab kita tidak bisa mengendalikan waktu, tidak bisa mengendalikan usaha, tidak bisa mengendalikan perkembangan bisnis dan pekerjaan yang kita anggap sebagai “kemajuan” adalah anak kita.


Anak yang begitu ditunggu keberadaannya. Para suami bersuka cita sebab istrinya hamil, istri bersuka cita sebab merasa lengkap sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang istri, eh begitu anak sudah berwujud sebagai anak, kita tinggalkan dia untuk kita berikan waktu kita untuk dunia. Lalu kemudian kita berkata, bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk dia, untuk mereka. Untuk anak-anak kita. Sementara, anak-anak kita, engga tahu, apakah mereka punya ayah atau tidak.
 

Sekarang ini, banyak ayah dan ibu, yang untuk mengambil raport anaknya pun mati-matian menyisihkan waktu. Gila ga? Untuk menemani anaknya berlibur, di mana para gurunya mewajibkan liburan kali ini didampingi orang tuanya, mereka tidak punya waktu. Saking sibuknya. Dan tidak sedikit yang menyesal, mengapa memasukkan ke sekolah yang punya peraturan seperti itu!

Tidak sedikit para orang tua, yang tidak bisa melihat momen di mana anak bangun tidur. Karena gelap-gelap mereka udah jalan. Apakah begini yang disebut hidup nikmat?

Tidak sedikit anak-anak yang tidak merasakan dikelonin/dimanja ayah ibunya ketika mereka mau tidur. Tidak jarang para ayah muda yang tidak melihat momen di mana bayinya baru bisa berjalan, tertatih, dan jatuh lagi. Para ayah sibuk bekerja. Para ibu, sibuk bekerja. Sementara, yang menikmati pertunjukan Allah, Tuhan Sang Pencipta, adalah orang lain; baby sitternya, pengasuhnya, neneknya. Lalu kita diberitakan kabar gembira ini tanpa menyaksikan pertunjukan ini secara langsung.


Kapan Anda terakhir mendengar anak Anda membaca al Qur’an? Di mana ketika mereka membaca al Qur’an, Anda ada di sampingnya?


Kapan Anda terakhir bermain bola dengan anak laki-laki Anda, atau membantu mengikatkan rambut putri Anda yang sudah memanjang dan bisa diikat?


Kapan Anda punya kesempatan memandikan anak-anak Anda? Membetulkan, pakaiannya? Meraba halus kulitnya?

Kapan terakhir Anda bercanda dengan anak Anda dan melihat senyumannya anak-anak Anda? Jangan-jangan tidak pernah. Masih syukur kalau anak Anda masih hidup. Bagaimana kalau anak Anda sudah meninggal dunia, yang ketika meninggalnya pun Anda tidak bisa menemaninya menghembuskan nafasnya yang terakhir?


Segitu sibuknya kah kita, sehingga ketika anak kita panas badannya lalu yang merawat adalah tangan yang bukan tangan ajaib baginya? Ya, tangan kita adalah sentuhan ajaib bagi penyakit anak kita.


Segitu sibuknya kah kita, sehingga untuk duduk bareng membaca buku bersama anak kita, dan mendengarkan celotehannya, kita tidak sanggup melakukannya walo hanya sebulan sekali?


Jika demikian, siapa kita di mata anak-anak kita? Tidak lebih sekedar pencari dunia. Kelak mereka akan mencari perlindungan dari yang lain. Kelak mereka akan mencari kasih sayang dari yang lain. Kelak mereka akan mencari kesenangan yang tidak didapatkan dari kita. Dan Anda, sudah bisa menjawabnya sendiri. Mereka lebih betah di rumah kawan-kawannya, sungguh pun kita lengkapi hidupnya dengan super fasilitas. Mereka lebih nyaman berada di kekasihnya. Lalu, ketika kita tua, ketika kita butuh kehadiran mereka, mereka sama sekali tidak tergerak untuk bersam-sama kita menghabiskan sisa umur kita bersamanya. Kenapa? Karena mereka tidak terlatih untuk itu!


Semua bukan semata-mata karena kita sibuk ngurus dunia. Bukan itu saja. Tapi sebab yang sangat mendasar. Yakni sebab kita tidak perhatian sama shalat. Jadilah kemudian kita ditelan waktu. Ditelan kesibukan sendiri. Dunia yang kita cari bahkan sesungguhnya tidak menyisihkan kenikmatan buat kita kecuali kenikmatan yang semu.


Coba benahin shalatnya. Maka Allah akan aturkan buat kita usaha yang membuat kita masih bisa ngegendong anak. Mengajaknya jalan-jalan di taman. Kita diberi-Nya pekerjaan yang tidak membuat kita menjadi makhluk-makhluk yang bahkan kita kepayahan ketika mau menikmati dunia yang kita cari.



Ustadz Yusuf Mansur