January 1, 2016

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 22 - Betapa Jauhnya Kita Dari Allah


Betapa Jauhnya Kita Dari Allah

Ada banyak hal yang menyenangkan hati di kehidupan ini, dan ada juga yang tidak
menyenangkan. Tapi bagi seorang mukmin, semua keadaan akan menyenangkan hati.

Sebagaimana kita ridha menerima datangnya siang, kita kudu juga ridha menerima datangnya malam. Sebagaimana kita senang menjalani kehidupan yang terang, kita kudu juga siap dengan datangnya kegelapan. Betapapun ia sunnatullah di kehidupan ini. Satu hal yang harus kita yakini adalah di mana pun situasi kita berada, ada Allah yang senantiasa menemani. Susah senang adanya di hati. Gelap terang, bukan di mata. Barangkali, ikhlas menjalani hidup ini, pun merupakan pelajaran tauhid yang senantiasa akan diperlukan sebagai bekal di kehidupan ini.

Saudara-saudaraku peserta kuliah online yang berbahagia, RINDU rasanya saya ketemu dengan Saudara-saudara semua, salah satu partner terbaik saya dalam belajar tentang Allah, rasul-Nya, dan kehidupan. Bulan-bulan terakhir ini, Allah memberikan keluarga kami hidangan-Nya. Sama saja dengan siapapun di dunia ini, ada susah, ada senang. Dan saya kira semuanya adalah persoalan penerimaan terhadap hidup ini. Kalau kita terima, maka semua keadaan akan baik-baik saja, akan senang-senang saja.

Orang-orang yang punya hutang, misalnya, ketika ia kemudian menyadari bahwa ia tidak bisa bayar hutang-hutangnya, ketakutan demi ketakutan akan menghantui kehidupannya. Takut dipenjara, takut ketahuan sama keluarga, takut dilecehkan tetangga dan saudara-saudara, takut kehilangan muka, takut merugikan orang lain (yang sebenernya sudah terjadi), dan takut sama kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya belum terjadi! Orang-orang ini takut sama bayang-bayangnya sendiri bahkan. Jadilah kemudian mereka gelap di tengah dunia yang semestinya terang. Sendirian di saat dunia ini begitu penuh dengan manusia. Kesepian di saat dunia ini ramai. Ga berani keluar rumah. Ga berani ketemu orang. Ga berani menegakkan muka. Bahkan ga berani membuka mata! Inginnya kabur saja, bahkan tidak jarang kepengennya mati saja.

Hidup lantas jadi cape, letih, lelah. Semakin dicari itu solusi, semakin membuahkan masalah-masalah baru. Orang-orang yang gagal ini kebanyakan sebab gagal memikirkan Allah, tuhannya. Yang ia pikirkan, nasibnya, nasibnya, nasibnya. Bukan memikirkan kelakuan-kelakuannya kepada Allah dan rizki-Nya yang selama ini kita sudah tidak syukur kepada-Nya.

Dan saya melihat saya. Saya tidak mau demikian itu terjadi dalam hidup saya. Saya lebih memilih ikhlas menjalani kesusahan, sebagai penerimaan rangkaian akibat dari kejauhan saya dari Allah. Betul, saya yakinkan diri saya, alih-alih saya memikirkan solusi, lebih baik akhirnya saya memikirkan Dia dan saya. Maksudnya, saya memikirkan bagaimana sih perjalanan kehidupan saya? Apakah ada Allah di sana? Seberapa dekat dan seberapa jauhnya saya? Ternyata masya Allah, saya menangis. Saya jauh dari Allah. Saya banyak lalainya hidup ini. Perjalanan saya sudah jauh melenceng dari tujuan diciptakan-Nya saya; yaitu untuk beribadah kepada-Nya.
***

Perjalanan saya di kemudian hari ternyata – menurut saya -- perjalanan tauhid. Saya menyebutnya perjalanan mencari Tuhan yang hilang. Hilang kemana? Hilang dari hati dan kehidupan. Perjalanan mencari Tuhan yang hilang di hati ini. Tentu saja saya berupaya kembali memasukkan Allah di hati, di pikiran, biar mewarnai gerak kehidupan. Semoga saya dan Anda semua, tidak kehilangan lagi Allah di kehidupan ini. Maka senantiasa ada doa yang dibaca setiap habis shalat; Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa mil ladunka rahmatan. Innaka antal wahhaab, ya Allah, janganlah Engkau kembali menyesatkan kami setelah Engkau memberikan kami hidayah, petunjuk. Dan karuniakanlah kami hidup yang penuh rahmat. Sesungguhnya Engkaulah Allah Yang Maha Memberi Karunia, Maha Memberi Pengajaran. 

Maka bolehlah saya menyebut, kegagalan manusia memperbaiki kehidupannya, atau mengubah kehidupannya menjadi lebih baik lagi, adalah sebab imannya tidak dibenerin. Tauhidnya tidak dibenerin. Amal ibadah memang barangkali dibangun, dikerjakan, tapi iman dan tauhidnya ga ada. Akhirnya banyak yang malah kemudian mengeluh. Kenapa saya sudah bertobat, koq tetap saja susah? Kenapa koq saya sudah kembali pada Allah, tapi kemudian masih saja sulit? Dan pertanyaan-pertanyaan yang semakin menyesatkan diri kita dari Allah. Bukannya semakin ikhlas menjalani hidup, malah kemudian bertambah sesak. Bukannya semakin menerima, malah kemudian makin sengsara. Cukuplah Allah Penolongku, inilah kalimat yang semestinya disuarakan terus menerus di hati kita. Ya Allah ampunilah saya, ini kalimat yang semestinya keluar dari lisan, hati dan pikiran kita. Engkaulah Pengaturku ya Allah. Terserah Engkau mengatur apa, bikinlah hati ini menjadi ikhlas karena-Mu. Begini mestinya. Akhirnya hati tidak beriak lagi. Adem. Ikhlas.

Allah berada di balik semua kejadian. Allah yang mengatur segalanya. Dengan ilmu seadanya, saya mengubah haluan hidup. Dari yang tadinya mencari solusi, akhirnya gerak langkah dan pikiran difokuskan untuk mencari Allah. Mencari-Nya dengan memperbaiki diri, memperbaiki ibadah, membanyakkan amal saleh. Praktis saat itu, saat-saat di mana saya butuh pertolongan-Nya, saya tidak melakukan serangkaian pencarian solusi lagi. Saya kembali kepada Allah saja. Yang lain bilang bahwa saya tidak melakukan sesuatu untuk masalah saya, sedangkan saya menolak dikatakan demikian. Inilah ikhtiar saya, setelah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan. Dan semestinya inilah yang sedari dulu saya lakukan, jangan mesti menunggu tidak ada lagi yang bisa saya lakukan. Sebab inilah inti segala inti. Percuma mencari segala teori penyelesaian hidup, jika Yang Maha Segala tidak menghendaki.
***

Bentuk konkritnya tentu saja ada. Di antaranya saya berusaha keras memperbaiki rundown hidup saya dulu yang selama ini salah. Ya, urut-urutan kita menjalani hidup ini, salah. Dan emang urusan sama Allah mah kayak tebalik balik. Mestinya tengah malam atau di penghujung malam enak-enak tidur, kita disuruh bangun. Pagi-pagi disuruh ngegetolin nyari duit, ini merilekskan badan dan pikiran dulu buat dhuha. Di saat-saat sedang sibuk, ada zuhur sama ashar. Ketika dapat duit, maka disuruh ngeluarin lagi sebagiannya. Padahal di saat yang sama, kita malah kepengennya kan bertambah, bukan berkurang. Beginilah hidup seorang mukmin, seorang yang percaya sama Allah. Dia tunduk dan patuh kepada Allah dan terhadap aturan-aturan-Nya, dan inilah Islam; aslama yuslimu, islaaaman, berserah diri, tunduk dan patuh kepada Allah dan ajaran-ajaran-Nya. Pelakunya disebut muslim (faa’il/subject). Nyatanya? Di kehidupan sehari-hari? Kita kurang ikhlas ngejalanin hidup ini. Kita ga sabar ngejalanin ibadah. Kita pun malah menjadikan ibadah-ibadah menjadi beban. Ada yang hanya kemudian menjalankan wajibnya saja, dan wajib itupun dijalankan tidak dengan sepenuh hati. 

Saya menyebut saya menjalani kehidupan yang salah, sebab itu hidup saja jadi jauh dari Allah. Bagaimana salahnya? Di mana salahnya?

Begini, setiap mukmin, mestinya memulai harinya dari bangun di pertengahan malam, di dua pertiga malam, atau di sepertiga malam yang terakhir. Bangun untuk apa? Untuk tahajjud, untuk sujud kepada Allah Yang Maha Rahman. Allah menyebut mereka sebagai hamba-Nya jika kemudian kita semua bisa “yabiituuna lirobbihim sujjadaw wa qiyaamaa”, di tengah malam bisa sujud dan ruku di hadapan Allah. Wadz-kurisma rabbika bukrataw washiilaa, kita bisa mengingat Allah di saat pagi dan petang. Waminallaili fasjud lahuu wa sabbbih-hu lailan thowiilaa, bahkan di malam harinya kita bisa memuji-Nya, bertasbih pada-Nya dengan memanjangkan malam. Nah, kemudian apa yang terjadi? Yang terjadi, jangankan di pertengahan malam, di dua pertiga malam, atau di sepertiga malam, di pagi dan di siang hari saja saya tidak mengingat Allah! Maksudnya? Ya, saya ga ingat dhuha, ga ingat shalat tepat waktu, ga enteng qabliyah ba’diyah. Apalagi untuk shalat malam? Wah, jauh! Lebih seremnya, saya merasa tidak bersalah ketika saya dapati diri ini jarang betul shalat shubuh berjamaah. Ga tauh tuh, kenapa dulu bisa begitu. Padahal semasa kecil, saya digelandang sama orang tua dari kamar untuk bangun tidur dan disuruh berada di masjid di waktu shubuh. Jangan berada di kamar. Eh, ketika kuliah, ketika dewasa, dan ketika mulai mencari dunia, malah Allah Pemilik Dunia saya lupakan! Terus terang, keadaan inilah yang lebih menyesakkan dada saya saat itu ketimbang urusan dunia; hutang, jatuh bisnis, rugi, dan sebagainya. Tapi, ini pun baru muncul ketika Allah mengingatkan saya tentang Allah. Tadinya, ga kepikiran juga. Makanya kemudian saya ingatkan yang bisa saya ingatkan.

Dari sini saja, dari tidak melakukan shalat malam, hidup saya udah melenceng. Jauh. Sangat jauh. Tentu saja saya harus memperbaikinya lagi. Ibarat menarik garis lurus, hidup saya udah ga lurus lagi.Startnya saja jam 5 pagi, bagaimana bisa lurus? Saya coba perjelas ya. Dulu, saya merasa amandengan bangun lalu keadaan langit masih cukup gelap, atau terang dikit tapi belum terang banget. Kenapa merasa aman? Sebab saya pikir masih ada shubuh. Sebagai orang yang tahu tentang shalat malam, mestinya kan gelisah tidak shalat malam. Ini malah aman dari tidak shubuh berjamaah! Kelewatan kan?

Seberapa jarak jauhnya jika saya tidak melakukan shalat malam? Ternyata jauh banget. Berpengaruh banget-banget. Perhitungannya sama dengan perhitungan telat shalat. Anggap saja semestinya kita memulai hidup kita jam setengah 3 pagi. Lalu kita malah bangun jam 5 pagi. Itu kan dua jam setengah telatnya. Ngitung gampangnya, 2 jam dah. 2 jam sehari, dikali 30 hari, maka itu udah 60 jam. 60 jam dikali 12 bulan, itu sama saja dengan 720 jam. 720 jam dibagi 24 jam sehari, maka hidup saya udah melenceng 30 hari! Itu kan jauh beneeeerrr. 30 hari dalam satu tahun inilah kesusahan saya. 30 hari itu sebulan loh! Bagaimana kalau Allah membagi lagi dalam satu tahun, di setiap bulan ada saja kesusahan kita. Allah cicil tidak dikasih kesusahan sekaligus 30 hari. Melainkan dua hari di bulan apa, sekian hari di bulan apa, dan sekian hari di bulan apa. Hingga kemudian kita menyangka, ya inilah hidup. Ada susah, ada senang! Padahal bukan. Yakni kitalah yang membuat hidup kita sendiri jadi susah. Coba saja benahin tahajjudnya, niscaya garis hidup akan lurus lagi dengan sendirinya.

Begitulah saya belajar. Anda boleh tidak sepaham. Tapi silahkan direnungkan sebaik-baiknya. Materi ini bukan tentang tahajjud. Tapi ini tentang tauhid. Saya yang tidak tahajjud, dosa saya bukan karena tidak tahajjudnya, tapi karena saya mengabaikan Allah! Allah datang, saya abaikan. Dan Allah datang setiap malam. Lihat, bagaimana mungkin orang yang mengenal-Nya, lalu tidak menyambut-Nya???!!! Dan inilah saya.

Lihat lagi ya, seperasaan saya, saya susah itu berawal di tahun 97. Saya lepas dari rumah, dari ‘aliyah (SMU), dari kehidupan pesantren, tahun 1992. Berarti ada 5 tahun. Maka, perhitungan 30 hari tadi, dikali 5 tahun. Hasilnya? 150 hari. 150 hari itu sama saja dengan 5 bulan hidup saya susah. Lah, banyak orang yang kemudian baru giat bangun malam ketika bermasalah. Dilihat dari jarak tempuh pencari Allah, dari sisi bangun malamnya, dia kudu melewati masa impas 5 bulan. Sebab emang ketahuan dari sisi mundurnya, saya mengalami kemunduran 5 bulan sabab tidak menjalani tahajjud 5 tahun.

Kelihatannya berat dan ribet, tapi bagi saya saat itu, justru kerinduan yang ada.

Saya semakin rindu pada-Nya, manakala hati dan pikiran ini merenung, jika dari perhitungan shalat malam ini saja saya telatnya, mundurnya, susahnya, bisa 5 bulan, bagaimana dengan perhitungan waktu shalat wajib? Dan perhitungan dari meninggalkan shalat-shalat sunnah qabliyah ba’diyah dan dhuha? Wuah, gawat.

Saudara-saudaraku, mudah-mudahan Allah menyaksikan bahwa saya menulis ini untuk ‘ibrah diri saya dan saudara-saudara saya.

Saat itu, saya kepengennya berlari saja menuju diri-Nya. Mengejar ketertinggalan. Memang ampunan adalah milik Allah. Pertolonganpun milik-Nya. Tapi saya memilih mengejar-Nya! Mengejar Allah. Kekejar ga? Saat itu, saya engga tahu. Sekarang pun masih engga tau. Tapi saya yakin, Allah menunggu saya. Saya yakin Allah menanti saya. Saat itu saya berteriak. “I’m coming ya Allah… Ini saya, Yusuf Mansur, yang banyak salahnya, datang ya Allah. Datang pada-Mu…”.

Allah buat saya adalah solusi. Kalau Allah berkenan menemui saya, dan saya diperkenankan ketemu Dia, maka solusi itu pastilah saya dapatkan.
***

Dalam kehidupan nyata pun, Allah mengajarkan kita. Allah memandu para pencari-Nya, untuk mencari-Nya dalam sujud, dalam keheningan malam. Dan bahkan Allah memandu para pencari-Nya, para pencari pertolongan-Nya dengan mengatakan kepada hamba-hamba-Nya, “Jika hamba-Ku mencari-Ku, carilah di mereka yang bersedih hatinya, yang lapar perutnya, yang menderita hidupnya… Carilah Aku dengan membantu mereka, niscaya kalian akan ketemu dengan-Ku”. Di dalam hadits-hadits yang bertebaran, Allah kerap menyatakan bahwa “Jika seorang mukmin ingin dilepaskan oleh Allah dari kesulitan dunia dan akhirat, bebaskanlah kesulitan mukmin yang lain. Allah akan membantu hamba-Nya manakalah hamba-Nya mau membantu yang lain”. Ini selaras dengan banyak firman Allah tentang pencarian diri-Nya. Carilah Allah, sebab Dialah “Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maulaa wa ni’man nashiir, laa hawla walaa quwwata illaa billaah, cukuplah Allah sebagai Penolong dan Pelindung, tidak ada daya selain kekuatan-Nya”. “Fa man kaana yarjuu liqaa-a rabbihi falya’mal ‘amalan shaalihan, barangsiapa yang kepengen ketemu dengan Allah, hendaknya dia memperbanyak amal saleh”.

Para pencari Allah, inilah ikhtiarnya. Ia bergerak terus. Aktif. Justru tidak diam. Pasrah bukan berarti diam, dan terjemahan di ibadahnya juga menjadi seaktif-aktifnya. Perbaiki shalat sebagai hubungan vertikal kepada-Nya, dan perbanyak amal saleh sedekah, berbagi, zakat, membantu orang; dengan tenaga, dengan nasihat-nasihat yang menggembirakan, dengan ilmu dan pikiran, dan tentu saja dengan harta yang tersisa. Semakin besar apa yang kita lakukan di dalam shalat dan sedekah, insya Allah akan semakin ketemu Allah. Dan inilah solusi itu. Solusi dari semua solusi permasalah kehidupan manusia.

Begitulah. Saya meminta ampun kepada Allah, dari dosa-dosa saya. Saya belum berbicara tentang dosa yang lain, yang bobotnya akan memperpanjang parahnya masa/waktu kesusahan saya (time limit).
***

Sekedar tambahan pengingat buat saudara-saudara semua. Tadi, dari tidak shalat tahajjudnya saya selama 5 tahun saja, sudah susah selama 5 bulan. Itu belum dihitung dari masa melalaikan shalat wajib. Masih ingat kan hitungannya? Mari bermain-main dengan angka waktu kesusahan: Jika seseorang terbiasa telat shalatnya, misalnya, atau anggap saja telatnya masing-masing 1 jam, maka 1 jam dikali 5 waktu shalat sama dengan 5 jam. 5 jam x 30 hari x 12 bulan x 5 tahun (ukuran kasus saya), maka didapat 9000 jam telat. 9000 jam itu, 375 hari. Dan 375 hari itu, satu tahun lebih 20 hari!

1 tahun 20 hari ditambah 5 bulan, itu berarti 1,5 tahun. Masya Allah kan? Seusaha apapun saya memperbaiki hidup saya, jika shalat wajib tidak saya benahin, maka hitungan ini ga akan pernah berkurang, kecuali saya banyak-banyak taubat dari soal yang satu ini.

Kelalain shalat wajib dan shalat sunnah tahajjud ini saja, score nya sudah 1,5 tahun. Wajarlah saya pikir saya susah. Dan umur kesusahan saya, secara normal, adalah 1,5 tahun. Kecuali ada Kehendak Allah. Nah, di Kehendak Allah inilah saya mencoba meminta-Nya bermurah hati mempersingkat perjalanan kesusahan di dunia, dan menghapus sama sekali kesusahan di alam kubur dan di negeri akhir.
***

Sungguh saudaraku, dengan saya menghitung diri saya sendiri, saya jadi ikhlas jalanin hidup ini. Saya tahu, mestinya saya susah sekurang-kurangnya 1,5 tahun. Daftar ini akan makin panjang, manakala saya menyadari selama 5 tahun saya kuliah, saya meninggalkan dhuha. Sedangkan Allah menagih sedekah kita sehari semalam. Ya, kalau Allah tidak Maha Rahman Maha Rahim, tidak akan manusia yang mampu membayar-Nya. Tapi Allah beritahu juga, tidak ada yang gratis. Termasuk ketika kita memakai badan ini sebagai pemberian-Nya, sebagai karunia-Nya. Tidak gratis. Dia minta kita membayar. Membayar dengan apa? Dengan bersedekah. Rasul memberitahu, setiap ruas dari badan kita, dimintakan sedekahnya oleh Allah, hingga ruas-rusa di jari jemari! Alhamdulillah, Rasul mengabarkan kemurahan Allah, semua itu cukup dengan dibayar lewat shalat dhuha 2 rakaat saja di pagi hari. Lalu saya mengingat saya… Masya Allah, sekian tahun dhuha tidak tertegak. Banyak betul hutang saya.

Saya mencoba mengambil pena, dan menghitungnya. 5 tahun tidak shalat dhuha, maka kira-kira 5 tahun juga Allah akan mengambil kehidupan saya! Jika harus ditebus dengan shalat dhuha 2 rakaat saban pagi, maka saya bisa mempersingkatnya dengan menegakkan shalat dhuha pol 12 rakaat setiap pagi! Dengan saya shalat dhuha 12 rakaat, maka saya sudah menebus 6 hari ketinggalan shalat dhuha di tahun-tahun yang lewat. Jika kemudian 366 hari dibagi 6 hari adalah 61 hari, maka hitungannya saya harus geber-geberan shalat dhuha selama 61 hari berturut-turut baru kemudian saya bisa menebus ketinggalan dhuha saya selama 5 tahun! Perjalanan yang tidak mudah. Tapi saya mencoba menempuhnya. Daripada saya dipenjara selama 5 tahun, sebab tidak bayar hutang, lebih baik saya menebus dengan cara begini ini. Lagian, Allah mengaruniakan janji-janji-Nya yang lain kalau saya mau shalat dhuha 2, 4, 6, 8 dan 12 rakaat. Sekalian saja saya rengkuh semua rahmat-Nya. ini, semakin ngentengin saya.

Saudara-saudaraku, hitung-hitunganan ini masih belum dihitung qabliyah ba’diyah. Kata Rasulullah, jika kita sekali saja melalaikan shalat wajib, maka kelalaian kita itu akan memakan 70 shalat qabliyah ba’diyah. Sedangkan satu hari, di 5 shalat waktu itu, hanya ada 8 qabliyah ba’diyah (minus ba’diyah shubuh dan ashar), itu artinya, sekali saja kita tidak shalat, maka sudah habis 7 hari kemakan kita punya qabliyah ba’diyah. Maka, kebayang kan betapa perjalanan melenceng kita ternyata semakin jauh. Cadangan devisa kita untuk shalat-shalat yang lalai, sungguh-sungguh kurang. Masya Allah.
***

Saudaraku, saya masih berkenan menambah deretan panjang impact dari dosa-dosa kita. Bagaimana kalau kemudian kita melakukan dosa zina misalnya? Sekali zina, maka dosanya 40 tahun masa perjalanan ibadah tidak diterima! Wuah, serem kan. Lebih serem lagi kalau saya kasih sedikit tinjauan fiqhnya. Yang disebut zina itu adalah dukhuulul lahm ilal lahm, masuknya “daging” ke dalam “daging” yang lain, dalam keadaan yang diharamkan-Nya. (Maaf, beribu maaf bila ada yang tidak suka dengan pembahasan saya. Ini saya betul-betul mengajarkan teori berhitung. Tentu saja kelak tidak ada yang mengetahui perhitungan terdetail kecuali Allah saja. Tapi mudah-mudahan perhitungan ini bisa menginsyafkan kita semua). Lah, dengan ukuran fiqh ini, maka tidak disebut sekali berzina orang yang melakukannya “sekali”. Sebab dalam sekali itu, terdapat berkali-kali zina. Saya pertegas ya. Ada seseorang yang berzina, lalu ia melakukan sekian variasi hubungan badan, sehingga – maaf – ia “keluar masuk” bersetubuh sampe kemudian ia keluar terpuaskan. Ini kan tidak terkontrol, berapa banyaknya???!!! Tidakkah ini menyeramkan buat yang pernah berzina???!!! Jika 3 kali saja keluar masuk sedangkan disebut sekali berzina itu adalah sekali saja masuknya, maka itu berarti 120 tahun Anda akan menghabiskan hidup Anda dalam kesusahan.

Bagaimana pula yang berzina dalam keadaan sudah bersuami atau beristri? Wuah, hukumannya bukan lagi sekedar 40 tahun. Tapi hukuman mati. Dirajam, ditimpuk pake batu sampe mati. Karena di negeri ini tidak berlaku hukum rajam, maka kemudian bolehlah saya menyebut, yang tidak bertaubat, maka kesusahannya boleh jadi seumur hidup. Memang hukum Islam berat, tapi memang arif. Persyaratannya juga susah, yakni di antaranya perbuatan zina itu mesti dilihat oleh mata telanjang oleh 4 saksi. Dan menurut saya, jika ada yang berzina dilihat oleh 4 orang secara terbuka, itu namanya bukan manusia lagi, tapi hewan.

Maka wahai saudara-saudaraku, beruntunglah buat mereka yang pernah berzina, lalu bertaubat. Ga apa-apa masih menyisakan sisa masalah. Ga apa-apa. Sebab yang paling mahal dari Allah adalah kesempatan kita bertaubat. Ada loh yang tidak dihukum di dunia ini. Ini lebih-lebihan lagi seremnya!!! Perhitungannya dituntaskan di alam kubur. Kalo di dunia, kita bisa berteriak minta ampun, kita bisa menjerit beristighfar, dan diterima Allah! Kalo sudah kematian menjelang??? Ya tinggal terima nasib. Kalo kita di dunianya menyisakan kebaikan yang terus bergulir (sempat membangun sekolah, masjid, membesarkan anak yatim), maka bisa jadi berkurang siksaan alam kubur sebesar kebaikan yang dialirkan ketika di dunia. Tapi bagaimana kalau amal-amal kita sepayah dosa-dosa kita?

Itu baru zina. Bagaimana dengan durhaka sama orang tua? Yang kata Allah, amal kita tidak diterima kecuali kita dapat ridha dari orang tua? Bagaimana pula dengan dosa menyakiti orang lain, yang pun juga punya hukuman yang sama? Bagaimana dengan dosa syirik yang tidak diampuni Allah? Dosa mendatangi tukang tenun, percaya sama ramalan, yang score nya 40 harian (tidak diterimanya amal) per sekali datang kepada mereka?
***

Sampe sini, ada saudara-saudara saya yang barangkali berkernyit. Entah berkernyit sebab bingung, atau berkernyit sebab apa; sebab merasa ga akan keuber, ga akan kekejar, dan ga akan pernah bisa balance jadinya. Beda dengan saya, saya dengan mengetahui hitung-hitungan ini, malah semakin berterima kasih kepada Allah. Saya semakin sadar, bahwa hitungan saya memang sangat kurang sekali. Dan saya percaya, jika saya berlari sungguh-sungguh pada-Nya, maka ketika di mil pertama saja kita lari, barangkali Allah yang akan mempercepat perjalanan kita.

Buat mereka yang tidak suka dengan hitung-hitungan ini, saya beritahu ya, bahwa suka tidak suka, memang kita akan dihitung oleh Allah al Hasiibul Jaliil, Allah Yang Maha Cermat Hitungannya. Ada banyak ayat yang menyatakan bahwa kita semua memang akan dihitung: “Fa ammaa man tsaqulat mawaaziinuhuu, barangsiapa yang lebih berat timbangan amal baiknya; fahuwa fii ‘iisyati roodhiyah, dia akan berada di kehidupan yang diridhai Allah; wa ammaa man khoffat mawaazinuhuu, barangsiapa yang ringan timbangan amal baiknya, lebih banyak amal buruknya; fa ummuhuu haawiyah, maka tempatnya di neraka hawiyah” (Qs. al Qaari’ah: 6-9); Beginilah, score kehidupan akhir ditentukan di hari hisab. Tapi di dunia ini, nyata. Sesiapa yang banyak kebaikannya, maka ia hidup dalam keadaan baik, dikelilingi orang-orang baik, ketemu dengan kebaikan dan orangorang baik. Sebaliknya, jika kehidupan kita lebih banyak amal buruknya, maka wajarlah jika hidup kita penuh dengan keburukan, dikelilingi keburukan dan ketemunya sama orang-orang yang merugikan kita. Masya Allah.

“Qul li’ibaadiyal ladziina aamanuu yuqiimush shalaata wa yunfiquu mimmaa razaqnaahum sirraw wa a’laaniyyatam min qabli ay-ya’tiya yaumul laa bai’un fiihii walaa khilaal; katakanlah kepada hambahamba-Ku yang beriman, hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rizki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi maupun secara terang-terangan, sebelum datang suatu hari di mana tidak ada lagi jual beli dan persahabatan”. (Qs. Ibraahiim: 31).

“Wa laa tahsabannallaaha ghaafilan ‘ammaa ya’maludz dzaalimuun. Innamaa yu-akhkhiruhum li yaumin tasykhashu fiihil abshaar, janganlah engkau mengira bahwa Allah akan lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai pada hari yang padanya pemandangan mencengangkan”.

“Muhthi’iina muqni’ii ru-uusihim laa yartaddu iliaihim tharfuhum wa af-idatuhum hawaa, mereka datang bergegas gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepala mereka, sedang mata mereka berkedip kedip dan hati mereka kosong tidak percaya bahwa mereka sudah ada di negeri berbangkit dan di hari hisab dijalankan”.

“Wa andzirin naasa yauma ya’tiihimul ‘adzaabu fa yaquulul ladziina zhalamuu rabbanaa akhkhirnaa ilaa ajalin qariibin nujib da’wataka wanattabi’ir rusul. Awalam takuunuu aqsamtum min qablu maa lakum min zawaal, dan peringatkanlah manusia terhadap hari yang azab datang kepada mereka, maka berkatalah orang-orang dzalim, hai Tuhan kami, tangguhkanlah kami meski dalam waktu yang singkat supaya kami bisa menjawab seruanMu dan mengikuti rasul-rasul. Allah berfirman, bukankah kamu dulu yakin bahwa kamu tidak akan binasa? Tidak akan menghadapi hari ini?” (Qs. Ibraahiim: 42-44).

Maka itulah saudara-saudaraku, bagi semua yang sekarang ini susah, namun menyadari bahwa hidup selama ini dalam kegelimangan dosa atau kelalaian dari segi ibadah seperti yang saya jelaskan di atas, keberuntungan yang nyata yang Allah hadiahkan buat kita adalah kita termasuk orang-orang yang panjang umur dan berkesempatan untuk bertaubat.
***

Ok, terpaksa saya penggal dulu. Sebab kepanjangan ntar kuliahnya. Kepanjangan ntar ngajinya. Besok kita teruskan ngajinya, pelan-pelan masuk di bab pertaubatan dan di bab betapa murahnya Allah terhadap kita; murah kasih sayang Nya, murah ampunan Nya, murah pertolongan Nya, murah segala-galanya. Sebab hitung-hitungan di kebaikan pun ga malah menarik dan mencengangkannya. Kita bahas soal menarik ini besok besok ya.

Mohon maaf yang mana saya banyak absennya mengajar. Namun jika saudara perhatikan, di renungan-renungan inspirasi, di artikel-artikel lepas dan di sms-sms jamaah, saya tiada henti menulis. Insya Allah itupun ibarat kuliah, ya kuliah juga. Hanya tidak dimasukkan di kolom kuliah online.

Insya Allah mulai hari ini, bila saya sehat terus, saya akan menulis lagi kuliah ini, dan menyiapkan materi lain dalam bentuk audio dan video. Saya beritahu ke jamaah semua. Tidak gampang menyiapkan materi audio dan video. Namun sudah saya cicil. Pada waktunya saya akan umumkan kesiapan materi audio dan videonya. Kesulitannya bukan di saya, he he he, tapi di SDM editingnya. Doain dah buat semua kru KuliahOnline supaya mereka semua diberi kemudahan dan mendapatkan keberkahan seperti keberkahan saudara-saudara semua yang menuntut ilmu lewat KuliahOnline ini.

Makasih juga atas doa-doanya yang disampaikan lewat sms ke hp saya: 081510511127, dan lewat imel. Saya tidak bisa membalas satu-satu sms dan imel tersebut. Belum berkesempatan atau tidak berkesempatan. Namun saya baca. Sebagiannya indah-indah dan banyak pula yang memotivasi saya bahwa sungguh kuliah online dibutuhkan.

Saudara-saudaraku, sambil saudara-saudara online, tolong saya dah. Beri testimoni saudara lagi ke imel web admin ini tentang kuliah online ini. Sebab akan dibukukan nih isi seluruh web generasi sebelum lebaran. Untuk kemudian dibersihkan, dan web nya hanya isi-isi yang baru saja. Yang lama, kita bukukan saja. Jadi, tolong ya, semacam kesan dan pesan dah. Isinya, boleh protes juga koq, he he he. Asal jangan terlalu pedes ya. Ntar saya malah jatuh sakit gara-gara mikirin, ha ha ha. Nah, ini juga persoalan tauhid. banyak hal saya ambil sebagai keputusan. Tapi kemudian tanggapan orang seribu satu macam. Sebenernya, sejujurnya, saya ga usah sakit hati. Biar saja. Toh barangkali mereka yang ngomongin jelek ga tahu tentang keadaan yang sebenernya. Dan bukankah kita kita mengaku berdakwah karena Allah? Bukan karena nama? Kalau tauhidnya benar, berdakwah karena Allah, maju saja terus, ga usah mikirin yang gitu-gitu. Penilaian, urusan Allah.

Contohnya, beberapa pekan yang lalu, kisah saya diangkat di layar kaca, di layar TV One. Dengan tajuk “Sejarah Membesarkan Nama”, menceritakan perjalanan hidup saya. Terselip di sana, gambar di mana saya sedang mengendarai Cellica Sport 2 pintu warna silver. Wuih, sontak ini mengundang sejuta komentar. Tidak sedikit yang miring. Walopun di sana ada gambar saya juga mereksa keadaan pondok dengan mengendarai sepeda ontel tahun 47!

Cellica itu memang mobil mewah. Tapi ia dijadikan unit bisnisnya pesantren. Di jasa penyewaan mobil. Jasa penyewaan mobil ini menyumbang kontribusi yang tidak sedikit buat pesantren dan di perputaran ekonomi warga sekitar. Dari uang bisnis ini bisnis itu, kita gerakkan juga ekonomi mikro melalui pembiayaan pembiayaan mikro. Yang tidak tahu, duh, disangkanya mah saya pengoleksi mobil dan hidup dalam berlebihan. Itu yang disorot hanya cellica. Padahal ada mobil-mobil mewah lainnya; Jagura, Alphard, Mercy, BMW, sekian APV, Kijang, carry, sampe bus 27 seat.

Yah gitu dah. Memang tidak arif di tengah-tengah masyarakat yang juga miskin dan serba kekurangan. Tapi ya kami juga punya alasan tersendiri. Unit-unit bisnis di lingkungan Daarul Qur’an dan Wisatahati, dibangun dan dikembangkan dengan prinsip wakaf dan sedekah. Sekaligus untuk menyuburkan amal baik dan mengubur amal-amal jelek dengan pergulirannya.

Dan memang subhaanallaah, semakin kami menyuburkan wakaf dan sedekah, semakin gila-gilaan perkembangan bisnisnya. Tapi, segitu lumayan berkembangnya (walaupun ukurannya masih small, masih baby), saya bangga sekali saya hidup di rumah kontrakan. Rumah yang saya tempati, rumah RW di lingkungan pesantren, persis di depan pesantren. Mobil saya pribadi, malah satu. Yaitu 1 unit Tigo. Dan itu pun punya istri, boleh ngumpulin dan nambahin dari jual Karimun 2004. Dan kami cukup senang dengan ini.

Daarul Qur’an sendiri, adalah pesantren modern dan bahkan internasional. Masuknya dolar. Lumayan mahal, sebab memang fasilitasnya lengkap dan sangat sangat bagus. Terkesan sekolah ini bukan buat orang susah. Dan memang demikian. Sekolah ini bukan sekolah orang susah, sebab saya memutuskan sekolah ini memang hanya untuk orang kaya. Namun, yang patut diacungi jempol dari Daarul Qur’an adalah ia berdiri juga di atas prinsip wakaf dan sedekah. Hasil dari keuntungan operasional sekolah ini, dipakai untuk subsidi silang program-program dakwah dan pesantren-pesantren bebas biaya yang dibangun dan dikembangkan di seluruh tanah air bareng dengan seluruh donatur PPPA. Dan pesantren-pesantren gratis ini adalah untuk mereka yang dhuafa dan anak-anak yatim dan tidak mampu.

Weh, weh, weh, koq malah nambah lagi ya tulisannya? He he he. Ini bahaya nih, maksud hati mau ngejelasin, tapi malah bisa terjebak jadi riya dan sum’ah. Ok, sampe ketemu besok yaaaa…
***

Ustadz Yusuf Mansur