December 7, 2014

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 19 - Ibadah; Jalan Rezeki Utama

Ibadah Tujuan Hidup

Abang Kun bangun. Anak saya yang ketiga, laki-laki. Namanya Muhammad Kun Syafi’i. Kami memangginya Abang Kun. Barangkali sebab dipanggilnya abang, maka pas ia berumur empat bulan, istri saya “isi” lagi, alias hamil lagi. Lahirlah kemudian bayi yang ke-empat, yang bisa sembuh, sehat, nromal, sebab salah satunya doa-doa para jamaah semua kepada Allah.
Abang Kun bangun. Jam masih menunjukkan pukul 01-an dinihari. Di TVRI sedang berlangsung LIVE siaran Tarawih dari Mekkah. Subhaanallaah, sambil muraja’ah juz ke-14 untuk ngimamin tarawih besok, saya berdoa agar anak-anak saya dan keluarga, bisa semuanya berangkat ke Baitullaah. Tidak ketinggalan saya berdoa pula untuk Anda peserta Kuliah Online, agar bisa menikmati bersimpuh di hadapan Allah, di Baitullaah-Nya. Ya Allah, saya juga berkesempatan berdoa agar semua kaum muslimin berkesempatan menjadi tamunya Allah.
Abang Kun dibuatkan susu oleh Bu Yayuk. Saya masuk ke kamarnya Abang, dan mengambilnya. Saya gendong, saya usap punggungnya, dan saya katakan padanya: “Abang, lihat Mekkah yuk. Lihat Ka’bah. Lihat yang pada tarawih malam hari ini di Masjidil Haram”.
Dalam keadaan TV mati, saya hidupkan. Abang terdiam dari nangisnya. Dan masya Allah, dia bersorak ketika melihat langsung menara-menara Masjidil Haram. Abang menunjuk-nunjuk dengan tangan mungilnya layar di TV, dan melihat dengan mata tidak berkedip.
Ya Allah, kami berdua menikmati bacaan ayat suci al Qur’an. Alunannya membuat saya rindu akan Baitullaah. Kebetulan pula, rombongan Umrah Ramadhan Wisatahati/Daarul Qur’an, yang ke sekian, berangkat shubuh ini, dipimpin oleh KH. Kosasih. Selamat jalan jamaah umrahku, bawalah doa untuk negeri ini. Agar negeri ini mau tunduk dan ta’at kepada Allah. Hanya itu jalannya kalau negeri ini mau makmur kembali. Selamat jalan wahai jamaah umrahku, dan jamaah umrah dari seluruh tanah air. Panjatkanlah doa di sana agar pertolongan Allah segera hadir di kehidupan anak negeri di seluruh negeri. Agar Allah juga berikan ampunan kepada seluruh keluarga besar negeri ini; ya pimpinannya, ya ulamanya, ya habaaibnya, ya masyarakatnya. Semuanya. Agar keridhaan Allah mengiringi seluruh ikhtiar negeri ini memperbaiki diri dan meningkatkan kesejahteraan dus keluar dari segala krisis. Selamat jalan jamaah umrah semua. Semoga Anda semua diberi Allah ganti ongkos umrah dan keletihan selama berumrah dengan kelezatan ibadah, iman dan kembali dengan umrah yang mabrur. Peserta Kuliah Online, sesuai dengan janji saya, bahwa hari ini kita akan belajar tentang “Ibadah: Jalan Rizki Utama”, maka saya hadirkan esai ini melengkapi esai Kuliah Tauhid.
Sama dengan esai kemaren, esai ini saya cuplik seadanya juga dari buku The Miracle. Saya betul-betul menghendaki diri ini mau memperbaiki ibadah, sebagai pusat dari semua langkah perbaikan diri dan perbaikan hidup. Ya, perbaiki ibadah bila hidup mau kembali benar. Ingat-ingat tujuan kita diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Yang Kuasa. Perjalanan kita sudah menunjukkan bahwa melencengnya kita dari kehidupan kita membuat hidup kita semakin jauh dari Allah. Sebahagiaannya barangkali tidak termasuk yang saya sebut. Alhamdulillah kalau begitu. Namun, beginilah kenyataan orang zaman sekarang. Segala urusan dunia sudah mengalahkan tujuan hidup di dunia itu sendiri. Kelalaian dunia, kesibukan dunia, sudah membuat orang menjadi jauh dari yang namanya ibadah. Dalam rangka menyemangati kembali diri ini dan diri semua orang yang bisa saya semangati, saya cuplikkan tulisan ini. Semoga berkenan dan bermanfaat. Waba’du, saya bertanya apakah jamaah sekalian sudah menerima imel tentang penanaman pohon untuk penghijauan pondok? Bila sudah, mudah-mudahan bisa punya rizki ya untuk menyediakan pepohonan yang dimaksud. Pohon apa saja. Terutama pohon-pohon buah. Dan kalau bisa, pohon-pohon yang sudah berdiameter besar, dan yang unik-unik. Mudah-mudahan pepohonan yang ditanam ini bisa menjadi pelindung di hari tiada perlindungan kecuali perlindungan Allah, kelak di hari kiamat. Amin. Atas nama pribadi dan keluarga besar Pesantren Daarul Qur’an, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Dan lewat media Kuliah Online ini juga saya serukan agar peserta Kuliah Online berkenan melakukan penghijauan sebisa-bisanya di lingkungan masing-masing juga. Agar lingkungan kita, alam kita, kembali ramah kepada kita. Ok, berikut ini esai yang saya maksud. Selamat mengikuti...
***

IBADAH; JALAN REZEKI UTAMA
Bekerja DENGAN Allah, Bekerja UNTUK Allah
Memperluas Jalan Usaha
Memperbesar Hasil Usaha


Semula banyak orang berpikir bahwa hasil usaha dia adalah seukuran kerja, seukuran usaha, seukuran proyek, seukuran dagangan, atau seukuran modalnya. Begitulah selama ini pikiran kita bekerja. Tidak pernah terpikirkan atau jarang terpikirkan bahwa hasil usaha bisa DIPERBESAR lewat jalan ibadah, dan jalan usaha bisa DIPERLUAS lewat jalan ibadah! Ya, banyak di antara kita yang tidak berani berpikir bahwa jalan ibadah bisa menambah dan memperluas rezeki. Yakin, barangkali iya. Maksudnya, iya yakin bahwa “jalan ibadah bisa menambah dan memperluas jalan rezeki”, tapi membicarakannya hingga “menjadi sebuah metode”, menjadi sebuah solusi yang “diataskertaskan”, tidak sedikit yang kurang berani. Entahlah, atau saya yang “terlalu berani?” Padahal sebagai sebuah petunjuk, Al-Qur`an adalah petunjuk, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil...” (QS. al-Baqarah: 185)
Tentu saja termasuk “petunjuk” untuk mencari rezeki dari Yang Maha Memiliki segala perbendaharaan rezeki.

Ikhlas, Do'a, dan Harapan
Memberi Spirit dalam Beribadah

Wacana-wacana yang menjadikan “kekurangberanian” atau “kesungkanan” untuk meyakini keyakinan itu secara bulat, baik di praktik maupun di teori (menjadi metode) adalah sebab ada wacana bahwa “Ibadah itu harus ikhlas. Tidak boleh beribadah karena dunia-Nya. Harus karena wajah-Nya semata”. “Katakanlah, ’Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’aam: 162)
Kalau kalimatnya seperti di atas, siapa yang berani memberi kritik? Siapa yang berani mengoreksi? Dan siapa yang berani memberi catatan? Saya pun tidak akan berani. Apa pun yang kita lakukan tentu harus mengikhlaskan diri kita karena Allah semata. Tapi tunggu dulu! Orang-orang yang mencari dunia milik Allah lewat jalan ibadah pun tidak mesti juga serta merta dikatakan tidak ikhlas. Bagaimana kalau mereka secara cerdas, “memisahkan” antara keikhlasan dan do’a? “Memisahkan” antara keikhlasan dengan harapan? Artinya ketika mereka menjalankan, mereka tahu dengan ilmunya bahwa dengan beribadah, dunia akan Allah dekatkan, tapi pada saat yang sama, mereka beribadah sepenuh hati kepada Allah. Harapanpun dia gantungkan semata hanya kepada Allah. Bahwa dia menempuh jalan ibadah, sebab karena Allah dan Rasul-Nya memberi petunjuk demikian. Karenanya, harus percaya dan mengikutinya. “Katakanlah, ’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. al-A’raaf: 158)
Contoh salah satu bentuk ibadah adalah sedekah. Lalu Allah memberitahu bahwa kalau sedang disempitkan rezekinya, bersedekahlah. Nanti Allah akan buat apa-apa yang sulit, jadi mudah. “Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. ath-Thalaaq: 7)
Lalu, kita-kita yang sedang diberi nikmat kesulitan, percaya dan berkenan mengikuti dengan harapan agar benar-benar kesulitan kita dimudahkan Allah. Jalan-Nya yaitu jalan sedekah, kita turuti betul, alias kita bersedekah.
Salahkah kita? Apakah kita disebut tidak ikhlas hanya karena beribadah karena berharap akan kebenaran janji-Nya? Salahkah bila kita percaya sama omongan-Nya? Sama “iming-imingNya?” Salahkah juga kalau kita kemudian bersedekah karena kepengen diberikan kemudahan atau karena kesulitan kita kepengen dihapus-Nya? Sedang ini adalah firman-Nya?
Nampaknya tega betul bila disebut tidak ikhlas. Saya lebih suka menyebutnya, “saking percayanya sama petunjuk Allah, lalu kita melakukannya”. Dan karena harapan adalah hanya dengan berharap kepada-Nya, maka kita pun berharap agar Allah benar-benar memenuhi janji-Nya, setelah kita tunaikan sedekah. Saya lebih kepengen menyebutnya dengan “inilah iman”, percaya pada seruan dan petunjuk Allah. Dan “inilah tauhid”, kita mengesakan Allah. Iman dan tauhid yang kemudian berbuah amal shaleh. Bahkan menurut pendapat saya, inilah bahkan CARA TERCERDAS dan TERHEBAT sepanjang sejarah cara-cara yang dikerjakan manusia, yaitu tinggal mengikuti saja petunjuk-petunjuk di dalam Al-Qur`an. Gampang! Entah dalam mencari rezeki, atau melepas kesulitan, atau hal-hal lainnya. Sebab cara ini dan petunjuk ini datangnya dari Allah. Dan ketika manusia menjalankan petunjuk Allah, bukankah ia menjadi sebuah ibadah tersendiri? Malah ibadah ini begitu indah dan memberi semangat dalam nilai. Ibadah yang tumbuh atas dasar keyakinan kepada apa yang digariskan Allah, pemilik segala kemudahan. Kita melakukan karena kita percaya pada-Nya. Kita melakukan karena kita yakin pada Allah dan kita mengetahui itu. Lalu iman kita bekerja dengan kekuatan penuh.
Maka, apakah setelah dikembangkan menjadi paragraf di atas masih terjadi benturan? Saya pikir ini adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang malah harus dikupas dan ditelaah lebih jauh lagi.
Lalu, ketika ada yang percaya kemudian menjalankan dan merasakannya, salahkah juga bila ia bercerita ini kepada kawan-kawannya, kepada sekitarnya? Bahwa bersedekahlah jika ingin dicabut segala kesulitannya? Lalu salahkah dia bila dia menjadikan pengetahuannya, pengalamannya, sebagai sebuah metode? Bahwa kalau mau keluar dari masalah, bersedekahlah?
Kalau menjadi metode, maka bisa dengan mudah diikuti, dicontoh, dan dirasakan oleh banyak orang. Betapapun, success story lebih mudah masuk ke hati dan pikiran orang. Juga lebih mudah diserap dan masuk menjadi pemahaman bagi orang banyak.

Langkah dan Hasil
Kebetulan dan Metode

Supaya gampangnya saya berikan contoh.
Ada seorang yang bersedekah Rp. 1000 di satu shalat Jum’at. Setelah shalat Jum’at dia makan di warung dekat masjid. Ketika akan bayar, makanannya dibayarin orang. Jumlahnya katakanlah mendekati Rp. 10.000 atau Rp. 10.000. Tapi orang ini tidak menyadari dengan ilmunya bahwa peristiwa ini ada kaitannya dengan sedekahnya yang Rp. 1000 di waktu shalat Jum’at. Orang ini tetap bersyukur kepada Allah, ada yang bayarin makanannya. Tapi orang ini bersyukur biasa, bersyukur bukan bersyukur karena ilmunya. Bedanya ada! Yakni di peningkatan amaliyah kemudiannya.Terus, kita bikin sampel yang berbeda. Sebut saja ada yang bersedekah Rp. 1000. Sama peristiwanya. Setelah sedekah, dia kemudian makan dan ada yang bayarin. Berbeda dengan orang yang satu. Ia bersedekah yang sama, sama-sama Rp. 1000. Tapi yang satu ini memahami satu hal, yakni bahwa Allah telah menjanjikan bayaran 10 kali lipat bagi mereka yang mau bersedekah. Jadi, ini di mata dia, bukan kebetulan. Ketika ia dibayarin, ia kemudian tambah menyadari dan tambah meyakini kebenaran janji Allah. Dan mestinya, kelak ia akan mengubah jumlahnya, atau minimal mengistiqamahkan ibadahnya. Kalau tidak, maka kebodohanlah baginya. Sudah Allah berikan ilmu, hikmah dan pengalaman, tidak bertambah imannya. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. al-Anfaal: 2)
Ketika ilmu masuk, ia memahami. Ini bolehlah disebut bergetar. Kemudian bergerak untuk mengamalkan. Ketika terbukti, bertambah-tambah imannya. Pengertiannya, bertambah-tambah. Alias sebenarnya bagi seorang Mukmin, tanpa perlu pembuktian pun sudah beriman. Korelasi Gerakan. Akhirnya, banyak kejadian yang sebenarnya punya korelasi antara hasil dengan langkah, atau sebaliknya, langkah dengan hasil, dianggap sebuah kebetulan yang sifatnya“normatif”. Seperti di atas tadi. Buat seorang yang tidak berilmu, kebetulan saja bila ia dibayari orang makan siangnya, bukan karena ia bersedekah ketika shalat Jum’at. Beda dengan yang berilmu, yang menganggap hal tersebut adalah bukan kebetulan.Inilah saya sebut sayang bila tidak dimetodekan. Seseorang cenderung tidak mengulangi,tidak istiqamah, karena ya itu tadi, barangkali dianggap sebuah kebetulan. Padahal, yang namanya sistem, maka ia akan membentuk ketetapan hasil yang akan cenderung baku. Artinya, bila dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka subhanallah, seseorang akan naik terus derajatnya. Dan ini pun semua terjadi atas ridha dan izin-Nya.

Berupaya Mencari Sesuatu di Balik Kisah

Buku yang ada di tangan saudara ini adalah buku yang sederhana. Dia hanya mencuplik satu dua kisah saja yang biasa ditemui di keseharian. Bahkan, ada yang mengalaminya. Buku ini hanya memberi bobot penggalian kisah-kisah tersebut dan menyuguhkan kepada pembaca; bahwa ternyata di balik kisah itu ada sebuah metode yang kalau diikuti dia akan berulang kejadiannya, bahkan akan menjadi lebih hebat lagi hasilnya bila bobot amaliyahnya ditambah kualitas dan kuantitasnya.

Mencari Rezeki Cara Mudah
Mencari Rezeki Cara Repot


Saudaraku, dalam urusan mencari rezeki, mencari dunia-Nya, Allah memberikan cara yang gampang bagi manusia, memberikan cara yang mudah bagi manusia. Tapi manusia senangnya memilih cara yang repot, cara yang sukar. Padahal Allah tentu yang paling tahu tentang kunci-kunci perbendaharaan rezeki-Nya. Allah menyebut kunci segala kunci bagi manusia itu adalah dengan beribadah kepadaNya. Sedekah, shalat malam, memberi makan anak yatim, menyenangkan hati yang berduka adalah “hanya sekian” dari apa yang disebut sebagai ibadah. Bila ibadah diperbaiki, maka kehidupan pun akan menjadi lebih baik lagi. Namun bila ibadah buruk, maka kehidupan buruk yang akan terhidang. Ibadah biasa saja, hidup pun akan biasa saja. Tidak ada istimewanya bagi yang tidak mengistimewakan Allah. Bila nampak dunia yang bagus, tapi di tangan orang-orang yang tidak rajin beribadah, jangan buru-buru silau. Kiranya itulah kebaikan dari Allah, barangkali sebab ilmu dunia dan usaha orang itu sendiri. Namun dia hanya memiliki dunia-Nya, tidak memiliki diri dan keridhaan-Nya. Alangkah cantiknya bila seseorang memiliki dunia dan juga memiliki Allah sebagai Pemilik dunia. Itu bisa ditempuh dengan satu ayunan langkah; ibadah. Tentu dengan memperluas seluas-luasnya cakupan ibadah yang dimaksud sebagai seluruh gerakan, rasa dan pikiran seorang hamba kepada Sang Khaliq. Tapi apa boleh buat, ketiadaan ilmu yang barangkali membuat seseorang tidak mengetahui bahwa dia bisa punya energi dan kemampuan yang akan melipatgandakan hasil keringatnya, hasil tenaga dan pikirannya. Yakni tadi, lewat jalan ibadah.

Tidak Ada yang Sim Salabim
Jam Ibadah = Jam Kerja
Ikhtiar = Ibadah
Ibadah = Ikhtiar


Tidak ada yang sim salabim. Jalan ibadah pun bukan jalan sim salabim. Dilihat dari keharusan melakukan ikhtiar yang di luar ikhtiar buminya. Jalan ibadah adalah jalan yang berproses. Karenanya, di setiap tahapan ibadah menjadi sebuah kegiatan yang berpahala dan mempunyai kebaikan dunia akhirat, bahkan sejak seseorang baru saja berniat untuk melakukan ibadah. Di dalam pengantar ini, masih di lembar muqaddimah buku ini, saya ingin memberikan satu garis yang jelas bahwa sungguh pun nanti ada pengisahan-pengisahan yang sepertinya instan, SESUNGGUHNYA TIDAK ADA YANG INSTAN. Tidak ada yang sim salabim abrakadabra. Semuanya memiliki rentetan proses yang saling kait mengkait. Contoh, anjuran memberi makan anak yatim dan atau menanggung sebanyak-banyaknya anak asuh, harus kita lihat sebagai “jam kerja” tambahan juga. Jam kerja/usaha ikhtiar buminya adalah ketika kerja dan usaha itu sendiri; ya di di toko, di warung, di kantor, di belanja keperluan usaha, di rapat ini rapat itu, di pertemuan bisnis ini dan itu. Sedangkan“jam tambahannya”, ya ketika kita duduk bersama anak yatim dan mencari anak asuh tersebut. Malah nanti akan dipaparkan, jangan-jangan yang jam utama adalah ibadah, baik ketika memberi makan anak yatim, shalat malam, atau lainnya. Dan yang jam tambahan, adalah segala urusan dunia.

Bekerja dengan Allah
Bekerja untuk Allah

Jadi, ibadah adalah sebuah ikhtiar juga, karena ia adalah kerjaan yang membutuhkan kesediaan waktu, energi, biaya, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut bekerja dengan Allah dan untuk Allah. Karena judulnya bekerja dan berusaha untuk Allah, ya ada bayarannya. Siapa yang bayar? Ya Allah! Dan karena bayarannya dari Allah, ya besarnya berbeda dengan bayaran hasil keringatnya sendiri. Subhanallah. Kalau di bait-bait di atas contohnya adalah sedekah, sekarang kita coba ambil contoh lain lagi; yaitu shalat Malam. Untuk bisa shalat Malam kita harus lembur mengorbankan waktu kita meski hanya sekadar dua rakaat. Ya, saya menyebut dua rakaat itu sebagai “lembur”. Sebab, kan kita menganggap shalat Malam sebagai pekerjaan sambilan. Lagi bangun ya mengerjakan, tidak bangun, tidak mengerjakan. Malah tidak sedikit yang menganggap “pekerjaan” tahajjud sebagai pekerjaan yang nambah beban keletihan setelah sepanjang hari bekerja. Padahal, “sekadar” dua rakaat saja shalat Tahajjud, ternyata bayarannya jauh lebih besar daripada seorang karyawan bekerja seharian penuh. Mengapa bisa beda?! Sebab si karyawan bekerja di siang harinya dia bekerja untuk manusia. Sedang di waktu malam, dia shalat Malam, Allah menghitungnya sebagai ibadah. Ibadah’kan artinya menghamba sama Allah. Menjadi ‘abidNya, menjadi pelayan-Nya. Dan ini juga pekerjaan. Makanya, karena kerjanya sama Allah, maka bayarannya subhanallah pasti lebih besar daripada kerja sama manusia. Lihat saja bayaran Allah untuk “pekerjaan” yang satu ini, pekerjaan tahajjud; siapa yang shalat dua rakaat di tengah malam, khairun minaddunyaa wa maa fiihaa, maka baginya lebih baik pahalanya (kebaikannya) di sisi Allah daripada dunia dengan segala isinya.

Pengalaman yang Menjadi Ilmu
Ilmu yang Menjadi Metode/Sistem

Berikut ini adalah contoh lainnya lagi. Yah, hitung-hitung pemanasan sebelum mukaddimah yang sesungguhnya dari buku ini. Contoh lainnya adalah sepasang suami istri sahabat saya, Haji Doni dan Hajjah Dian. Dia merasa ada yang aneh. Dia punya pekerjaan, sepi. Lalu “iseng” mengumpulkan anak yatim saban malam Jumat. Dari maghrib sampe isya. Maaf disebut iseng. Sebab dia emang melakukan dengan tidak berlatar belakang “ilmu”. Pokoknya melakukan. Tapi siapa sangka bila kemudian dia menyadari bahwa pekerjaan mulai ramai. Proyek-proyek yang bersih, clear & clean mulai berdatangan. Akhirnya dia sadar, bahwa duduknya bersama anak-anak yatim itulah yang sudah menjadi pembuka jalan. Nah, ini’kan pengalaman yang berbuah menjadi ilmu! Hebatnya kawan saya itu kemudian menjadikannya metode. Dia jalankan terus sepenuh hati dan dengan keyakinan yang bertambah. Dia berusaha teguh tidak meninggalkan“pekerjaan isengnya”. Sebab sekarang sudah dia jadikan pekerjaan utama, bukan sambilan lagi. Makananan yang disediakan buat anak-anak yatim itu pun berubah menjadi lebih terencana dengan menu yang semakin baik. Kawan saya inilah yang kelak memproduksi film layar lebar KUN FAYAKUUN. Film yang menginspirasikan banyak orang di Indonesia tentang kekuasaan dan kebesaran Allah. Film yang kelak ditonton lebih dari 5 juta penonton ini dengan mudah dibesut oleh kawan saya ini, Haji Doni dan Hajjah Dian. Keduanya menganggap inilah hasil ikhtiar ibadahnya. Belum lagi lahir order-order iklan PSA (Iklan Layanan Masyarakat) dari banyak perusahaan dan departemen, berikut pemasangan iklan-iklannya di TV. Dia betul-betul mengaku berkah menjalani “pekerjaan sambilannya” itu. Kini, bahkan metode ini dia “pasarkan” kepada kawan-kawannya yang lain untuk sama sama dipercayai, diikuti, dan dirasakan manfaatnya. Ini bukan saja berbagi ilmu dan pengalaman, tapi berbagi metode, berbagi sistem, tentang bagaimana membuka jalan rezeki lebih banyak dan lebih besar namun tetap di jalan-Nya yang benar dan lurus.

Ibadah = Pekerjaan?
MPA (Manajemen Perusahaan Allah)


Sekarang kita lihat Haji Doni dan Hajjah Dian. Saban malam Jumat beliau berdua mencari anak-anak yatim, mengumpulkan, duduk bersama, dan menyenangkan mereka semua. Benarkah ini bukan pekerjaan? Saudaraku, inilah pekerjaan. Bekerja dengan Allah dan untuk Allah; yaitu membahagiakan anak-anak yatim. Benarkah dia cuma bekerja 1 jam? Dari maghrib sampe isya saja di setiap malam Jumat? Enggak juga. Perjalanannya sebenarnya lebih panjang dari “sekadar” 1 jam itu. Dia’kan harus belanja. Dia delegasikan tugas-tugas belanja dan masak ke orang rumahnya/ke pembantunya. Ini saja, sudah seperti mengelola “MPA (Manajemen Perusahaan Allah)”. Seakan-akan orang-orang rumahnya ada yang dia angkat sebagai manajer, sebagai pengelola keuangan, sebagai bagian purchasing (pembelian), stok (gudang), produksi (masak), dsb. Iya’kan? Lalu berjuangnya dia mengosongkan waktu ashar di hari Kamis supaya sampai di rumah sebelum maghrib pun harus dilihat sebagai “jam kerjanya” juga buat Allah. Begitu selesai isya, anak-anak pun tidak langsung bubar, melainkan sedikit bercengkrama. Ini pun masuk dalam hitungan waktu bekerja dengan dan untuk Allah. Belum lagi merapikan karpetnya, merapikan piring dan gelasnya, menyapu dan mengepel lantainya, dan mengembalikan ruang tamu, ruang TV yang terpakai oleh anak-anak yatim itu. Inilah yang Allah suka; manusia mau menyisihkan waktunya untuk diri-Nya. Inilah juga yang disebut ibadah. Apalagi kan untuk bisa sedekah. Seseorang harus bekerja dan berusaha. Istilahnya. darimana Haji Doni dan Hajjah Dian punya duit buat sedekah? Ya dari pekerjaan dan usahanya. Masya Allah! Insya Allah akan coba dibahas juga di buku ini tentang ayat-ayat terakhir surah al Jumu’ah yang membahas pengajaran tentang ibadah yang terkait dengan terbukanya pintu rezeki yang pengajaran ini berasal dari Allah, Khairurraziqin, sebaik-baik Pemberi rezeki.

Jalan Rezeki Utama
Ibadah Hidup, Ekonomi Hidup

Saudaraku, saya ulangi kembali kalimat di awal tulisan pengantar ini; selalu ada sajajalan tambahan rezeki yang membuat seorang manusia yang rajin ibadah, mau menambah jalan ibadah, dan juga berkenan untuk mengistiqamahkannya. Ini yang saya yakini! Malah, saya menyebutnya bukan tambahan rezeki, tapi jalan rezeki utama. Dalam mengerjakan suatu ibadah, mengapa pula ia bisa membuat kita menjadi berkah? Sebab ada mata rantai ekonomi yang terjadi dalam satu praktik ibadah. Sebut saja barusan tadi; memberi makan anak yatim, bersedekah, shalat bersama anak yatim, wah, banyak sekali mata rantai ekonomi yang terbangun dengan sendirinya; membeli makanan, menggunakan jasa transportasi untuk ke pasar dan untuk mengangkut anak-anak yatimnya, menyediakan pakaiannya, dan masih banyak lagi. Berkah dah!

Masjidil Haram & Masjid Nabawi

Tidak aneh bila kita lihat bahwa di dunia ini ada dua pasar yang tidak ada matinya, yaitu pasar di sekitar Masjidil Haram di Makkah dan pasar di sekitar Masjid Nabawi di Madinah. Dua-duanya hidup 24 jam. Mengapa demikian? Sebab masjidnya hidup juga 24 jam. Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang tidak ada matinya. Hidup terus! Karenanya, seluruh rangkaian mata rantai ekonomi terbangun dan hidup pula; bisnis maskapai penerbangan, bisnis katering, bisnis hotel, bisnis pakaian, bisnis ini dan itu. Bahkan, berkahnya dirasakan juga oleh bangsa lain di negara yang lain. Indonesia misalnya. Jaringan hotel yang menjadi penginapan transit jamaah, pesawat Garuda dan seluruh keluarga besar karyawannya, katering lokal, transportasi bus yang mengangkut jamaah dan pengiringnya ke bandara, produsen bahan pakaian dan aksesori umrah dan haji, produsen bensin, dan sebagainya. Subhanallah, Maha Suci Allah yang bila sudah menggariskan sesuatu, maka itu adalah penuh dengan kemaslahatan. Apalah lagi kalau si manusianya, kita maksudnya, mau menjadikan segala sesuatu yang kita kerjakan sebagai jalan-jalan ibadah kepada-Nya. Maka Allah betul-betul akan“membayar” kita dengan ridha dan keberkahan dari-Nya.

Selamat Menikmati “The Miracle”

Demikianlah pengajaran yang mudah-mudahan berguna buat diri saya dan buat diri orang yang mau memahami pentingnya ibadah... ibadah... dan ibadah. Allah menyediakan dunia-Nya untuk manusia ciptaan-Nya, terlebih lagi untuk hamba-hambaNya, masak kemudian kita yang beribadah jadi kalah terang segala-galanya daripada yang tidak beribadah? Pasti ada yang salah jika demikian. Apa yang dinukil di buku ini adalah sesuatu yang sangat kecil, bahkan ia berbicara tentang ibadah-ibadah yang bukan ibadah secara makro, tapi bicara tentang hal-hal yang kerap dianggap kecil seperti sedekah, memberi makan anak yatim, mengasihi orang miskin, tahajjud, dhuha, baca Al-Qur`an, dsb. Dan belum bicara tentang maslahat yang lebih besar kepada orang yang lebih banyak lagi, misalnya lewat jalur penelitian dan pengembangan penemuan teknologi ini dan itu, yang semuanya juga adalah ibadah yang menguak kebesaran Allah dan kehebatan ciptaan-Nya. Di dalam buku ini dilampirkan sedikit kumpulan tulisan saya yang pernah dimuat di majalah Gatra & di website www.wisatahati.com, melengkapi pembahasan yang jauh dari sempurna ini. Apa saja yang dipandang perlu untuk dikritisi oleh pembaca semua jangan segan-segan layangkan imel ke saya atau ke web admin. Atau sekadar saran, pendapat, unek-unek, kesan pesan terhadap saya barangkali, tidak apa-apa, layangkan saja e-mail ke saya, maka dengan senang hati saya menerimanya. Meski saya jarang berkesempatan membalas langsung, tapi insya Allah saya baca. Selamat menikmati The Miracle.

November 21, 2014

Kuliah Wisata Hati Online - Tauhid 18 - Tidak Ikhlas

Tidak Ikhlas?
 
Di esai Bicara Tauhid Bicara Keyakinan, dan di sampel ”sedekah mengantarkan umrah”, saya perhatikan kemudian muncul banyak pertanyaan dari Peserta KuliahOnline tentang ”Ikhlas tidak ya kalau kita bersedekah sebab mengharap imbalan?”.
Sebenernya ini soal klasik yang sering ditanyakan oleh jamaah. Baiklah, saya selang dulu dengan esai tentang keikhlasan dan doa, yang saya ambil seadanya dari buku terbaru saya yang judulnya: ”an Introduction to THE MIRACLE”.
Esai ini seadanya memang saya ambil. Silahkan saja direnungkan. Mudah-mudahan bisa menjelaskan tentang perbedaan antara ikhlas, yakin, nurut sama Seruan Allah, serta doa.
Buat saya ini adalah soal Tauhid. Soal keyakinan, soal kepercayaan. Yakin dan percaya akan seruan Allah dan Rasul-Nya. Yakin dan percaya akan Janji-Janji Allah. Yang lain menyebut ”tidak ikhlas”, saya lebih memilih menyebut ”saking percayanya sama Allah lalu saya melakukannya”. Yang lain menyebutnya ”tidak ikhlas”, saya lebih memilih menyebutnya ”berharap sama Allah”. Dan yang lain menyebutnya sebagai pamrih atas ibadah-ibadah yang dilakukan karena dunia, saya lebih kepengen meyakininya sebagai sebuah keutamaan jalan sebab yang memberikan petunjuk adalah Yang Memiliki Dunia yang juga menyuruh kita beribadah.
Selamat mengikuti esai-esai ini. Insya Allah besok masih saya cuplikkan bahagian dari buku tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ”ikhlas atau tidak ketika kita beribadah lalu berharap imbalan?”. Insya Allah besok saya akan naikkan esai yang judulnya: ”Ibadah: Jalan Rizki Utama”. Tunggu dah besok ya. Waba’du, saya terus mendorong kawan-kawan WebOnline untuk menyempurnakan BelanjaOnline agar peserta langsung bisa mendapatkan buku aslinya. Ini bukan promosi, tapi sekalian nyuruh beli, he he he.
***

Tulisan Ini Bukan Memaksa Anda
Meminta kepada Allah
“… Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon
kepada-Ku...” (QS. al-Baqarah: 186)

Suatu hari Luqman “bingung”… “Kenapa ketika seseorang ibadah kepada Allah, malah lalu enggak boleh minta sama Allah?”
(-) Loh, memangnya siapa yang mengatakan enggak boleh minta?
(+) Ya orang-orang.
(-) Orang yang mana?
(+) Ya yang mengatakan, “Ibadah-ibadah saja… jangan minta-minta sama Allah.”
“Tahajjud, tahajjud saja, jangan tahajjud sebab pengen minta ini minta itu sama Allah.”
Atau, “Sedekah-sedekah saja. Masa sih sedekah karena pengen sesuatu. Salah tuh.”
Orang-orang seperti ini nih yang saya bingungkan, kata Luqman.
(-) Loh, kenapa kamu “menyerang” mereka-mereka itu? Bukannya mereka itu bagus? Dan mengajarkan kemurnian ibadah?
(+) Ya, bagus-bagus saja. Tapi kalau mengajarkan keikhlasan sambil menyekat hamba-Nya dari Allah, apakah masih bagus disebutnya?
(-) Tapi siapa juga yang menyekat? Kan mengajarkan keikhlasan?
(+) Apa coba sebutannya buat mereka yang melarang hamba-Nya meminta sama Allah? Apa bukan menyekat tuh? Memberi dinding antara seorang hamba dengan Allah?
(-) Ya, enggak gitu sih.
(+) Enggak gitu gimana?
(-) Ini’kan sekadar mengajarkan keikhlasan. Gitu loh.
(+) Guru saya pernah bilang, bila ada yang mengajarkan kebaikan, tapi di saat yang sama mengajarkan keburukan, itulah setan?
(-) Maksudnya?
(+) Ya setan’kan masuk lewat pintu ilmu. Satu sisi mengajarkan perbuatan baik harus dilakukan dengan keikhlasan. Tapi di sisi yang lain, seseorang tidak diperbolehkannya meminta sama Allah. Apa ini bukan kerjaan setan?
(-) Wah, terlalu jauh tuh. Masa menyamakan mereka yang berpendapat seperti itu seperti setan?
(+) Ya enggak sih. Tapi’kan begitu cara kerjanya setan. Halus banget. Kita enggak berani ngebantah perkataan, “ibadah-ibadah saja, jangan minta-minta sama Allah.” Iya’kan?
Enggak berani? Sebab kalau berani membantah berarti tidak ikhlas?
(-) Iya juga sih.
(+) Gini... boleh enggak meminta sama Allah?
(-) Boleh.
(+) Meminta itu berdo’a bukan?
(-) Ya... sama dengan berdo’a.
(+) Jadi... boleh nih berdo’a?
(-) Ya, bolehlah... malah jadi ibadah.
(+) Ok, malah jadi ibadah ya?
(-) Ya... jadi ibadah.
(+) Terus... boleh enggak seseorang yang tidak ibadah meminta sama Allah?
(-) Maksudnya?
(+) Boleh enggak seseorang yang tidak shalat misalnya, lalu dia berdo’a kepada Allah?
(-) Boleh saja... berdo’a’kan tidak mempersyaratkan apa pun, kecuali sebagai akhlak.
(+) Jadi, boleh nih, seorang preman misalnya, berdo’a kepada Allah?
(-) Ya... boleh.
(+) Walau dia tidak shalat?
(-) Ya, boleh... meski dia tidak shalat, dia berhak berdo’a.
(+) Lah, lalu kenapa orang yang menempuh jalan tahajjud, menempuh jalan sedekah, lalu jadi tidak boleh meminta?
(-) Iya juga ya... kenapa jadi tidak boleh?
(+) Situ sendiri’kan yang bilang... sedekah-sedekah saja, tahajjud-tahajjud saja, jangan minta-minta sama Allah?
(-) Bener.
(+) Padahal, mestinya kalimat yang benar itu begini... “tidak tahajjud saja boleh meminta, apalagi tahajjud. Tidak sedekah saja boleh meminta, apalagi bila bersedekah.”
(-) Bener.
(+) Dari tadi bener-bener melulu?
(-) Lah, memang bener.
(+) Sekarang siapa yang bingung?
(-) Ya enggak bingung... saya benar, situ benar.
(+) Maksudnya?
(-) Beribadah karena sesuatu’kan jadinya tidak ikhlas?
(+) Yah, itu mah namanya kembali kepada pertanyaan semula.
(-) Kembali bagaimana?
(+) Yah, di depan’kan ditanya, boleh enggak meminta sama Allah tanpa ibadah?
(-) Oh... dialog di depan tadi?
(+) Ya iyalah... dialog yang tadi, masa harus balik lagi?
(-) Jadi... gimana?
(+) Ikhlas itu jangan dikaitkan dengan meminta. Bila seseorang meminta kepada Allah, jangan dikatakan tidak ikhlas dong?
(-) Lalu, mestinya dikatakan apa buat seseorang yang bersedekah lantaran dia susah?
(+) Dikatakan kepadanya, “Dia menempuh jalan yang diberitahu Allah dan Rasul-Nya.”
(-) Oh... gitu ya?
(+) Ya... begitu. Ketika Allah bilang bahwa Allah akan membantu yang mau membantu sesama, lalu ada seorang yang keluar dari rumahnya membantu orang lain karena dia kepengen kesusahannya dibantu Allah, Masa salah?
Bukankah ini berarti dia mempraktikkan cara-cara Allah bila kepengen dibantu. Dan berarti dia dapat pahala tersendiri, yaitu pahala menjawab seruan Allah, pahala nurut sama Allah, pahala percaya sama Allah.
(-) Tapi kan enggak bener dong.
(+) Enggak bener pegimana?
(-) Kok aneh ya, ibadah’kan harusnya murni, ikhlas?
(+) Ya itu tadi... sebab pemahaman ikhlasnya kali yang salah. Mestinya ikhlas itu adalah tidak dikaitkan dengan do’a, dengan permintaan. Kasihan hamba-hamba-Nya Allah yang 
memang kepengen sesuatu dari Allah, dan Allah memang membuka pintu-Nya, dan murah memberi hadiah kepada hamba-Nya yang mau menegakkan ibadah. Lebih kasihan lagi kepada orang-orang yang tidak tahu bagaimana caranya merayu Allah.
(-) Jadi, tetap disebut ikhlas nih, bila seseorang beribadah karena sesuatu?
(+) Kalimatnya barangkali begini, orang itu punya tauhid yang bagus. Punya iman yang bagus. Karena percayanya dia sama cara yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya, lalu dia tempuh jalan itu. Gitu. Secara simpelnya, disebut tidak ikhlas itu kalau ia ngomongin dia punya amal ke kiri dan ke kanan dengan maksud riya atau sombong, sum’ah/berbangga diri. Kalau ke Allah mah namanya do’a, harapan, permintaan, munajat.
(-) Iya juga ya... apalagi meminta itu’kan ibadah juga ya?
(-) Nah... berarti kalau seseorang mau sedekah, dan ia punya permintaan, berarti ada dua ibadah?
(+) Betul... ibadah “sedekah” dan ibadah “meminta”.
(-) Dapat dua pahala ya?
(+) Ya... dapat dua keutamaan.
(-) Paham saya sekarang.
(+) Masa?
(-) Iya.
(+) Lalu masih menyalahkan orang yang bersedekah lantaran proyeknya pengen lancar?
(-) Masih.
(+) Lah?
(-) Ya iya... namanya juga bingung.
(+) Ya sudah... bingung saja terus.
(-) Ya soalnya memang tetap bingung.
(+) Iya... enggak apa-apa. Kan enggak maksa supaya situ mau minta sama Allah. Jadi, ya enggak apa-apa bingung juga. Silahkan saja. Kalau saya mah enggak bingung. Bagi saya, saya percaya sama Allah. Percaya sama cara-cara-Nya Allah. Allah bilang, kalau mau begini, begitu. Kalau mau begitu, begini. Lalu saya ikuti itu. Ini namanya tunduk, patuh, dan taat. Sekali lagi, ini namanya keutamaan dari percaya sama Allah.
***

Yah, namanya juga orang bingung. Luqman sendiri bingung. Anda enggak usah ikut bingung… he… he… he.... Yang jelas Luqman meyakini, banyak orang yang tidak berani minta sama Allah. Padahal Allah sendiri yang menyuruh meminta kepada-Nya. Masa ketika seseorang meminta jadi salah? Iya enggak?
(-) Iya.
(+) Lah... kok ada jawaban lagi?
(-) Tadi nanya?
(+) Nanya apaan?
(-) Tadi nanya... masa ketika seseorang meminta jadi salah? Iya enggak? Ya saya jawab iya.
(+) Wah... sudahlah, nanti jadi panjang lagi!?
***

Minta Terus Jangan Ragu
Allah suka dengan hamba-Nya yang banyak meminta.

Supaya tetap terhubung dengan Allah, maka jadilah orang-orang yang senantiasa butuh sama Allah. Salah satu caranya adalah dengan banyak meminta kepada Allah. Dikabulkan yang satu, minta lagi yang lain. Terus begitu. Enggak apa-apa.
(-) Wah, itu kan kata situ....
(+) Loh, kok kamu lagi?
(-) He… he… he…. Enggak boleh ngomong ya?
(+) Boleh. Tapi saya lagi nulis ini buat pembaca buku ini. Jangan diganggu ya.
(-) Ya udah, silahkan... saya diam saja.
(+) Ok, situ diam saja ya... enggak usah jawab kalau saya enggak minta situ ngejawab. Oke
ya?
***

Kembali lagi dengan kalimat di awal, supaya tetap terhubung dengan Allah, maka jadilah orang-orang yang senantiasa butuh sama Allah. Salah satu caranya adalah dengan banyak meminta kepada Allah. Dikabulkan yang satu, minta lagi yang lain. Terus begitu. Enggak apa-apa.
Luqman Hakim teringat proses kelahiran si Wirda. Boleh dibilang, pagi, siang, malam, ia dan istrinya berdo’a semoga anaknya ini lahir dengan selamat.
Alhamdulillah, lahirlah anaknya dengan selamat. Bayi putri yang sehat, normal, dan cantik.
Berhentikah ia dan istrinya berdo’a?
Iya... mestinya Luqman Hakim dan istrinya berhenti berdo’a jika mereka berdua memuaskan dirinya hanya sampai etape itu saja. Tapi mereka berdua tidak mau berhenti sampe di situ saja. Istrinya Luqman memberitahu suaminya, mengingatkan. “Pah, kita belom aman loh? Wirda memang sudah lahir selamat, tapi’kan belum tahu apakah telinganya bisa mendengar, matanya bisa melihat, kaki dan tangannya bisa digerakkan normal, mulutnya bisa bicara? Artinya, belum aman. Makanya kita harus terus berdo’a, iya’kan?”
Luqman membenarkan. Mestinya seseorang yang merasa perlu sama Allah tidak menghentikan ibadahnya, tidak menghentikan do’anya, melainkan dia terus-menerus memelihara ibadahnya dan terus-menerus berdo’a.
Allah senang bila hamba-Nya mau meminta pada-Nya. Allah tidak akan pernah merasa keberatan dan tidak akan pernah merasa bosan bila ada hamba-Nya yang meminta dan meminta terus.
Percayalah... kepada Allah mah jangan takut meminta, apalagi jika Anda punya amal yang hebat, Anda disayang sama Allah. Memintalah, maka Allah akan memenuhi apa yang kita minta.
”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah : 186)
Justru bila ada hamba-Nya yang tidak mau meminta, aneh. Tentu saja cakep buat dia apabila dia mau meminta ampunan Allah, mau meminta cinta dan kasih sayangnya Allah, mau meminta ridha dan perlindungan-Nya, dan seterusnya. Pokoknya sama Allah mah minta...minta... dan minta... terus meminta. Yang tidak kalah pentingnya, bagaimana ketika permintaan bertambah, ibadah juga bertambah.
“… Kamulah yang berkehendak kepada Allah…” (QS. Faathir: 15)
Memintalah kepada Allah. Sebab meminta itu adalah ibadah seorang hamba kepada Allah, Khaliqnya.?

Sebuah Keutamaan
Ibadah adalah salah satu ikhtiar mendapatkan dunia.
 
Luqman masih tertarik untuk membahas tentang “menempuh jalan ibadah sebagai sebuah keutamaan”.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang menyalahkan orang lain yang beribadah sebagai jalan ikhtiar mencari dunia-Nya Allah. Luqman Hakim lebih menyebutnya sebagai “sebuah keutamaan”.
Ya, mencari dunia dengan jalan beribadah adalah sebuah keutamaan.
Mengapa demikian?
Sebab bukankah mengikuti anjuran Allah dan Rasul-Nya adalah juga ibadah? Dunia adalah milik Allah. Ketika Allah memerintahkan kita begini dan begitu ketika kita mencari dunia milik-Nya, maka ini menjadi sebuah ibadah yang sangat hebat. Di samping tentu menjadi sebuah wujud iman dan keyakinan kepada-Nya. Itu’kan sebutan betawinya nurut, atau percaya.
Saudaraku, terhadap dokter saja, keyakinan kita bukan main hebatnya. Ketika seorang dokter mengatakan, “Anda harus dioperasi segera... dalam hitungan 24 jam!” Wah, kita akan terbirit-birit mengiyakan. Andai kita tidak ada uang pun kita akan mengusahakan setengah mati, pinjam sana pinjam sini. Kalau perlu, kita tinggalkan rumah kita, kita korbankan kendaraan kita untuk mendapatkan uang buat operasi.
Ada ahli desain interior. Dia berkunjung ke rumah kita. Lalu memberikan advisnya tentang tata ruang yang lebih membuat sirkulasi udara rumah kita menjadi lebih bagus, maka insya Allah kita akan mengubah tata letak rumah kita tersebut andai memang kita ada uang.
Atau malah jangan-jangan kepikiran terus untuk sesegera mungkin menjalankan advis sang desainer interior tersebut.
Terhadap saran manusia, terhadap nasihat manusia, kita bak… bik… buk… memikirkan dan mengikutinya. Mengapa terhadap nasihat Allah dan Rasul-Nya tidak kita ikuti? Apakah karena kita tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya? Atau jangan-jangan kita terjebak kepada kesungkanan atau makna keikhlasan yang barangkali perlu dikoreksi? Sehingga ibadah kita tidak bertenaga? Tidak memiliki spirit? Sebab bisa jadi bayang-bayang tidak boleh beribadah karena meminta sesuatu dari Allah; entah itu dunia-Nya, berharap solusi dari-Nya, menjadikan kita seperti setengah-setengah beribadah. Bukan karena penuh pengharapan kepada-Nya, atas janji-janji-Nya sendiri.
Macam gini, Allah menyebut bahwa jalan tahajjud akan membuat hidup seseorang berubah menjadi lebih baik lagi. Bila dilakukan terus-menerus akan membuat seseorang naik terus derajat dan kemuliaannya. Lalu, ada seseorang yang melakukan tahajjud sebab percaya akan firman-firman Allah dan hadits-hadits Rasul seputar tahajjud ini, dan kemudian menyandarkan harapan hanya pada-Nya -sekali lagi, hanya pada-Nya-, apakah ini salah?
Lebih utama mana dengan yang tidak mengerjakannya? Atau lebih utama mana dengan yang mengerjakannya tanpa berharap kepada-Nya? Apalagi kalau kita sepakat bahwa meminta kepada Allah pun merupakan ibadah tersendiri? Tahajjud ya ibadah... dan meminta (do’a) adalah juga ibadah. Maka bila seseorang melakukan tahajjud dan juga berdo’a kepada Allah, bukankah dia malah dapat dua keutamaan?
Terus lagi, Rasul misal pernah bilang juga begini, “Kalau mau dibantu Allah, bantulah sesama.” Lalu, seseorang yang menghendaki pertolongan Allah bergegas menyambut seruan ini untuk benar-benar berharap turunnya pertolongan Allah baginya. Apakah ini salah? Tega bener kalo salah mah.
Saudaraku, ayo! Beranilah meminta. Kalimat bahwa beribadah sama Allah, beribadah saja, jangan minta-minta sama Allah, harus ikhlas, ini menurut saya perlu dilakukan lagi penelitian mendalam. Kasihan orang yang butuh pertolongan Allah yang menempuh jalan ibadah dan jalan-jalan yang diseru-Nya.
Mohon do’a agar Allah memberikan bimbingan kebenaran dari-Nya.